An investigation of classical swine fever virus seroprevalence and risk factors in pigs in East Nusa Tenggara, eastern Indonesia
Received 7 April 2014, Revised 29 January 2015, Accepted 2 February 2015, Available online 11 February 2015.
https://doi.org/10.1016/j.prevetmed.2015.02.002
Highlights
• Seroprevalensi sangat bervariasi pada berbagai tingkat agregasi spasial.
• Babi positif terhadap antibodi CSFV di daerah tanpa vaksinasi atau kasus yang dilaporkan.
• Tingkat kekebalan kelompok tidak memadai untuk pengendalian penyakit.
Abstrak
Virus demam babi klasik (CSFV) merupakan penyakit babi yang sangat menular. Penyakit ini telah berdampak signifikan di Nusa Tenggara Timur, Indonesia bagian timur sejak pertama kali muncul pada tahun 1997. Meskipun virus ini penting bagi wilayah ini, masih sedikit yang diketahui tentang seroprevalensi dan distribusinya, serta faktor-faktor pada tingkat babi dan peternak yang dapat memengaruhi status serologis seekor babi. Untuk mengatasi defisit pengetahuan ini, survei seroprevalensi lintas sektor dilakukan pada tahun 2010 yang melibatkan 2.160 babi dan 805 peternak dari empat pulau di wilayah tersebut. Kuesioner peternak dan formulir catatan babi digunakan untuk mengumpulkan data tentang peternak dan babi yang disurvei. Darah diambil dari setiap babi untuk menentukan status serologis CSFV-nya. Prevalensi tampak dan sebenarnya dihitung untuk setiap pulau, distrik, kecamatan, dan desa yang disurvei. Status serologis CSFV digunakan sebagai variabel hasil dalam analisis regresi logistik efek campuran. Secara keseluruhan, seroprevalensi CSFV yang sebenarnya diperkirakan sebesar 17,5% (CI bawah 16,0%; CI atas 19,5%). Estimasi seroprevalensi sangat bervariasi di seluruh pulau, kabupaten, kecamatan, dan desa. Manggarai Barat, sebuah kabupaten di ujung barat Pulau Flores, memiliki babi yang positif antibodi terhadap CSFV. Hasil ini tidak terduga, karena tidak ada kasus klinis yang dilaporkan di daerah ini. Babi yang lebih tua dan babi yang telah divaksinasi untuk CSFV lebih mungkin untuk dites positif antibodi terhadap CSFV. Model multivariabel akhir memperhitungkan sejumlah besar variasi dalam data, namun sebagian besar variasi ini dijelaskan oleh efek acak dengan kurang dari 2% variasi yang dijelaskan oleh usia babi dan status vaksinasi CSFV babi.
Dalam penelitian ini kami mendokumentasikan seroprevalensi CSFV di empat pulau di Nusa Tenggara Timur, Indonesia timur. Kami juga mengidentifikasi faktor risiko untuk keberadaan antibodi terhadap CSFV. Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk memahami mengapa CSFV klinis belum dilaporkan di ujung barat Pulau Flores, dan untuk mengidentifikasi faktor risiko tambahan yang menjelaskan status serologis CSFV untuk menginformasikan strategi pengendalian penyakit.
Pendahuluan
Virus demam babi klasik (CSFV), atau kolera babi, adalah pestivirus yang dikaitkan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada babi. CSFV telah diberantas di beberapa negara termasuk Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru, serta sejumlah negara di Eropa Tengah dan Barat (Artois et al., 2002; Edwards et al., 2000; Organisasi Kesehatan Hewan Dunia, 2014). Namun, wabah baru-baru ini di negara-negara yang sebelumnya bebas dari CSFV pada babi domestik telah menimbulkan konsekuensi ekonomi dan kesehatan hewan yang signifikan (Elbers et al., 1999, Moennig et al., 2003, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia, 2014), dan CSFV masih endemik di beberapa wilayah Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan tingkat konsumsi daging babi tertinggi di Indonesia, dan populasi babi terbesar dengan perkiraan jumlah 1,8 juta ekor (BPS Statistik, 2013). Peternak babi skala kecil (jumlah total ternak ≤20 babi) merupakan produsen utama di wilayah ini, dengan 85% rumah tangga memelihara babi (Johns et al., 2009, Santhia et al., 2006) dan pertanian merupakan sumber pendapatan utama bagi sebagian besar rumah tangga (Wang, 2007). Di NTT, babi menyediakan sumber makanan dan keamanan finansial, dan sangat dihargai secara sosial dan budaya (Santhia et al., 2006, Leslie et al., 2015). Oleh karena itu, kejadian morbiditas dan mortalitas pada populasi babi berdampak pada sebagian besar populasi manusia.
CSFV merupakan penyakit lintas batas yang sangat menular. Babi umumnya terinfeksi secara oral, dan penyebarannya terjadi secara langsung melalui penularan horizontal dan vertikal, dan tidak langsung melalui fomite yang terkontaminasi dan produk daging babi. Penyakit klinis yang disebabkan oleh CSFV diklasifikasikan sebagai akut, subakut, atau kronis, dan ditentukan oleh strain CSFV, serta faktor inang, termasuk usia babi, ras, tahap kehamilan, status paparan CSFV sebelumnya, dan status vaksinasi CSFV. Tidak ada tanda-tanda patognomonik untuk CSFV, dan oleh karena itu diagnostik laboratorium diperlukan untuk membuat diagnosis (Moennig et al., 2003).
CSFV dikonfirmasi di NTT pada tahun 1998. Kemudian menyebar ke seluruh provinsi sebagian besar melalui pergerakan babi hidup yang tidak terkendali, yang menyebabkan kerugian besar. Hal ini terus membatasi produksi babi di wilayah tersebut (Tri Satya et al., 1999, Christie, 2007). Di NTT, kabupaten diklasifikasikan berdasarkan status infeksi CSFV, yang didasarkan pada laporan kasus klinis ke Kantor Peternakan NTT dan survei serologis terbatas yang dipimpin pemerintah. Pada tahun 2010, semua kabupaten di Timor Barat dan Pulau Sumba dan satu kabupaten di ujung timur Pulau Flores diklasifikasikan sebagai terinfeksi; satu kabupaten di Pulau Flores bagian timur diklasifikasikan sebagai terduga; dan seluruh Pulau Flores ditambah Pulau Lembata diklasifikasikan sebagai tidak terinfeksi (Gbr. 1). Kampanye vaksinasi dilakukan di kabupaten dengan kepadatan babi tertinggi dan laporan kasus tahunan dalam upaya untuk mengendalikan penyakit. Namun, fluktuasi dalam ukuran populasi babi terus berlanjut, dan Kantor Peternakan NTT telah mendokumentasikan peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan setiap tahun (Dinas Peternakan Propinsi, 2011). Vaksin hidup strain ‘China’ yang dilemahkan (strain C) Vaksin CSFV digunakan di NTT untuk mengendalikan penyakit. Efektivitasnya telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian, dan perlindungan berlangsung setidaknya 6–18 bulan dan mungkin seumur hidup (van Oirschot, 2003). Antibodi penetral biasanya muncul dalam waktu dua minggu dan meningkat hingga setidaknya 4–12 minggu pasca vaksinasi (van Oirschot, 2003). Antibodi dapat bertahan bertahun-tahun setelah inokulasi dengan satu dosis, tetapi juga menghilang pada beberapa individu dan dapat menghilang pada tingkat yang lebih tinggi dalam kondisi lapangan yang ‘nyata’ dibandingkan dengan kondisi uji lapangan (van Oirschot, 2003). Secara umum diterima bahwa keberadaan antibodi penetral memberikan perlindungan terhadap CSFV (Suradhat et al., 2007). Demikian pula, babi yang pulih dari infeksi CSFV akut mengembangkan antibodi penetral sedini dua minggu pasca infeksi (Moennig, 2000). Hewan-hewan ini terlindungi dari infeksi di masa mendatang selama beberapa tahun dan kekebalannya mungkin seumur hidup (Moennig, 2000).
Meskipun CSFV penting bagi NTT, sedikit yang diketahui tentang seroprevalensi dan distribusinya. Tidak ada survei serologis yang telah dilakukan di banyak bagian NTT, termasuk bagian barat Pulau Flores. Terdapat ketidakkonsistenan antara jumlah kasus CSFV yang dilaporkan oleh Dinas Peternakan NTT dengan beberapa penelitian yang dipublikasikan (Santhia et al., 2003, Dinas Peternakan Propinsi, 2011). Telah diketahui bahwa sebagai akibat dari desentralisasi pemerintah, komunikasi antara dan dalam berbagai sektor pemerintah kurang, yang mungkin menjadi penyebab ketidakkonsistenan data (Brandenburg dan Sukobagyo, 2002). Namun, penelitian sebelumnya juga mencatat bahwa petani di seluruh NTT enggan melaporkan kasus CSFV (Robertson et al., 2010, Deveridge, 2008). Selain itu, Santhia et al. (2003) menyatakan bahwa petani dan petugas kesehatan hewan di Pulau Alor di NTT tidak melaporkan semua kasus CSFV.
Tujuan utama dari penelitian yang disajikan adalah untuk lebih memahami seroprevalensi dan distribusi CSFV di NTT untuk memberikan informasi guna mendukung keputusan tentang pengendalian CSFV. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk menentukan seroprevalensi CSFV di pulau Timor Barat dan Sumba, keduanya diklasifikasikan sebagai pulau yang terinfeksi CSFV; (2) untuk mendeteksi keberadaan antibodi CSFV di distrik yang dicurigai terinfeksi CSFV dan tidak terinfeksi di pulau Flores, dan di pulau Lembata, yang diklasifikasikan sebagai tidak terinfeksi pada tahun 2010, dan; (3) untuk menyelidiki faktor-faktor pada tingkat babi dan tingkat peternak untuk menentukan dampaknya terhadap status serologis CSFV babi di pulau-pulau yang disurvei.
Link to --> Full paper
How to cite this article:
Sawford, K., Geong, M., Bulu, P.M., Drayton, E., Mahardika, G.N., Leslie, E.E., Robertson, I., Putra, A.A.G. and Toribio, J.A.L., 2015. An investigation of classical swine fever virus seroprevalence and risk factors in pigs in East Nusa Tenggara, eastern Indonesia. Preventive veterinary medicine, 119(3-4), pp.190-202.