Kantor Rumah Ilmu

Somewhere on Earth.

Ruang Rapat Rumah Ilmu

Somewhere on the Earth.

Ruang Press Conference Rumah Ilmu

Somewhere on Earth.

PLBN Motaain

Kab Belu NTT

Jumat, 03 Januari 2025

Investigasi seroprevalensi virus demam babi klasik atau Classical Swine Fewer (Hog cholera) dan faktor risiko pada babi di Nusa Tenggara Timur, Indonesia bagian timur

 



An investigation of classical swine fever virus seroprevalence and risk factors in pigs in East Nusa Tenggara, eastern Indonesia

https://doi.org/10.1016/j.prevetmed.2015.02.002


Highlights

• Seroprevalensi sangat bervariasi pada berbagai tingkat agregasi spasial.

• Babi positif terhadap antibodi CSFV di daerah tanpa vaksinasi atau kasus yang dilaporkan.

• Tingkat kekebalan kelompok tidak memadai untuk pengendalian penyakit.

                                                                     Abstrak

Virus demam babi klasik (CSFV) merupakan penyakit babi yang sangat menular. Penyakit ini telah berdampak signifikan di Nusa Tenggara Timur, Indonesia bagian timur sejak pertama kali muncul pada tahun 1997. Meskipun virus ini penting bagi wilayah ini, masih sedikit yang diketahui tentang seroprevalensi dan distribusinya, serta faktor-faktor pada tingkat babi dan peternak yang dapat memengaruhi status serologis seekor babi. Untuk mengatasi defisit pengetahuan ini, survei seroprevalensi lintas sektor dilakukan pada tahun 2010 yang melibatkan 2.160 babi dan 805 peternak dari empat pulau di wilayah tersebut. Kuesioner peternak dan formulir catatan babi digunakan untuk mengumpulkan data tentang peternak dan babi yang disurvei. Darah diambil dari setiap babi untuk menentukan status serologis CSFV-nya. Prevalensi tampak dan sebenarnya dihitung untuk setiap pulau, distrik, kecamatan, dan desa yang disurvei. Status serologis CSFV digunakan sebagai variabel hasil dalam analisis regresi logistik efek campuran. Secara keseluruhan, seroprevalensi CSFV yang sebenarnya diperkirakan sebesar 17,5% (CI bawah 16,0%; CI atas 19,5%). Estimasi seroprevalensi sangat bervariasi di seluruh pulau, kabupaten, kecamatan, dan desa. Manggarai Barat, sebuah kabupaten di ujung barat Pulau Flores, memiliki babi yang positif antibodi terhadap CSFV. Hasil ini tidak terduga, karena tidak ada kasus klinis yang dilaporkan di daerah ini. Babi yang lebih tua dan babi yang telah divaksinasi untuk CSFV lebih mungkin untuk dites positif antibodi terhadap CSFV. Model multivariabel akhir memperhitungkan sejumlah besar variasi dalam data, namun sebagian besar variasi ini dijelaskan oleh efek acak dengan kurang dari 2% variasi yang dijelaskan oleh usia babi dan status vaksinasi CSFV babi.

Dalam penelitian ini kami mendokumentasikan seroprevalensi CSFV di empat pulau di Nusa Tenggara Timur, Indonesia timur. Kami juga mengidentifikasi faktor risiko untuk keberadaan antibodi terhadap CSFV. Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk memahami mengapa CSFV klinis belum dilaporkan di ujung barat Pulau Flores, dan untuk mengidentifikasi faktor risiko tambahan yang menjelaskan status serologis CSFV untuk menginformasikan strategi pengendalian penyakit.

Pendahuluan

Virus demam babi klasik (CSFV), atau kolera babi, adalah pestivirus yang dikaitkan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada babi. CSFV telah diberantas di beberapa negara termasuk Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru, serta sejumlah negara di Eropa Tengah dan Barat (Artois et al., 2002; Edwards et al., 2000; Organisasi Kesehatan Hewan Dunia, 2014). Namun, wabah baru-baru ini di negara-negara yang sebelumnya bebas dari CSFV pada babi domestik telah menimbulkan konsekuensi ekonomi dan kesehatan hewan yang signifikan (Elbers et al., 1999, Moennig et al., 2003, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia, 2014), dan CSFV masih endemik di beberapa wilayah Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.

Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan tingkat konsumsi daging babi tertinggi di Indonesia, dan populasi babi terbesar dengan perkiraan jumlah 1,8 juta ekor (BPS Statistik, 2013). Peternak babi skala kecil (jumlah total ternak ≤20 babi) merupakan produsen utama di wilayah ini, dengan 85% rumah tangga memelihara babi (Johns et al., 2009, Santhia et al., 2006) dan pertanian merupakan sumber pendapatan utama bagi sebagian besar rumah tangga (Wang, 2007). Di NTT, babi menyediakan sumber makanan dan keamanan finansial, dan sangat dihargai secara sosial dan budaya (Santhia et al., 2006, Leslie et al., 2015). Oleh karena itu, kejadian morbiditas dan mortalitas pada populasi babi berdampak pada sebagian besar populasi manusia.

CSFV merupakan penyakit lintas batas yang sangat menular. Babi umumnya terinfeksi secara oral, dan penyebarannya terjadi secara langsung melalui penularan horizontal dan vertikal, dan tidak langsung melalui fomite yang terkontaminasi dan produk daging babi. Penyakit klinis yang disebabkan oleh CSFV diklasifikasikan sebagai akut, subakut, atau kronis, dan ditentukan oleh strain CSFV, serta faktor inang, termasuk usia babi, ras, tahap kehamilan, status paparan CSFV sebelumnya, dan status vaksinasi CSFV. Tidak ada tanda-tanda patognomonik untuk CSFV, dan oleh karena itu diagnostik laboratorium diperlukan untuk membuat diagnosis (Moennig et al., 2003).

CSFV dikonfirmasi di NTT pada tahun 1998. Kemudian menyebar ke seluruh provinsi sebagian besar melalui pergerakan babi hidup yang tidak terkendali, yang menyebabkan kerugian besar. Hal ini terus membatasi produksi babi di wilayah tersebut (Tri Satya et al., 1999, Christie, 2007). Di NTT, kabupaten diklasifikasikan berdasarkan status infeksi CSFV, yang didasarkan pada laporan kasus klinis ke Kantor Peternakan NTT dan survei serologis terbatas yang dipimpin pemerintah. Pada tahun 2010, semua kabupaten di Timor Barat dan Pulau Sumba dan satu kabupaten di ujung timur Pulau Flores diklasifikasikan sebagai terinfeksi; satu kabupaten di Pulau Flores bagian timur diklasifikasikan sebagai terduga; dan seluruh Pulau Flores ditambah Pulau Lembata diklasifikasikan sebagai tidak terinfeksi (Gbr. 1). Kampanye vaksinasi dilakukan di kabupaten dengan kepadatan babi tertinggi dan laporan kasus tahunan dalam upaya untuk mengendalikan penyakit. Namun, fluktuasi dalam ukuran populasi babi terus berlanjut, dan Kantor Peternakan NTT telah mendokumentasikan peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan setiap tahun (Dinas Peternakan Propinsi, 2011). Vaksin hidup strain ‘China’ yang dilemahkan (strain C) Vaksin CSFV digunakan di NTT untuk mengendalikan penyakit. Efektivitasnya telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian, dan perlindungan berlangsung setidaknya 6–18 bulan dan mungkin seumur hidup (van Oirschot, 2003). Antibodi penetral biasanya muncul dalam waktu dua minggu dan meningkat hingga setidaknya 4–12 minggu pasca vaksinasi (van Oirschot, 2003). Antibodi dapat bertahan bertahun-tahun setelah inokulasi dengan satu dosis, tetapi juga menghilang pada beberapa individu dan dapat menghilang pada tingkat yang lebih tinggi dalam kondisi lapangan yang ‘nyata’ dibandingkan dengan kondisi uji lapangan (van Oirschot, 2003). Secara umum diterima bahwa keberadaan antibodi penetral memberikan perlindungan terhadap CSFV (Suradhat et al., 2007). Demikian pula, babi yang pulih dari infeksi CSFV akut mengembangkan antibodi penetral sedini dua minggu pasca infeksi (Moennig, 2000). Hewan-hewan ini terlindungi dari infeksi di masa mendatang selama beberapa tahun dan kekebalannya mungkin seumur hidup (Moennig, 2000).

Meskipun CSFV penting bagi NTT, sedikit yang diketahui tentang seroprevalensi dan distribusinya. Tidak ada survei serologis yang telah dilakukan di banyak bagian NTT, termasuk bagian barat Pulau Flores. Terdapat ketidakkonsistenan antara jumlah kasus CSFV yang dilaporkan oleh Dinas Peternakan NTT dengan beberapa penelitian yang dipublikasikan (Santhia et al., 2003, Dinas Peternakan Propinsi, 2011). Telah diketahui bahwa sebagai akibat dari desentralisasi pemerintah, komunikasi antara dan dalam berbagai sektor pemerintah kurang, yang mungkin menjadi penyebab ketidakkonsistenan data (Brandenburg dan Sukobagyo, 2002). Namun, penelitian sebelumnya juga mencatat bahwa petani di seluruh NTT enggan melaporkan kasus CSFV (Robertson et al., 2010, Deveridge, 2008). Selain itu, Santhia et al. (2003) menyatakan bahwa petani dan petugas kesehatan hewan di Pulau Alor di NTT tidak melaporkan semua kasus CSFV.

Tujuan utama dari penelitian yang disajikan adalah untuk lebih memahami seroprevalensi dan distribusi CSFV di NTT untuk memberikan informasi guna mendukung keputusan tentang pengendalian CSFV. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk menentukan seroprevalensi CSFV di pulau Timor Barat dan Sumba, keduanya diklasifikasikan sebagai pulau yang terinfeksi CSFV; (2) untuk mendeteksi keberadaan antibodi CSFV di distrik yang dicurigai terinfeksi CSFV dan tidak terinfeksi di pulau Flores, dan di pulau Lembata, yang diklasifikasikan sebagai tidak terinfeksi pada tahun 2010, dan; (3) untuk menyelidiki faktor-faktor pada tingkat babi dan tingkat peternak untuk menentukan dampaknya terhadap status serologis CSFV babi di pulau-pulau yang disurvei.


Link to --> Full paper



How to cite this article:

Sawford, K., Geong, M., Bulu, P.M., Drayton, E., Mahardika, G.N., Leslie, E.E., Robertson, I., Putra, A.A.G. and Toribio, J.A.L., 2015. An investigation of classical swine fever virus seroprevalence and risk factors in pigs in East Nusa Tenggara, eastern Indonesia. Preventive veterinary medicine119(3-4), pp.190-202.

EPIDEMIOLOGI, PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT MULUT DAN KUKU (Pembelajaran dari Wabah PMK Indonesia 1887-1997) (Journal Paper)





 Oleh

 Petrus Malo Bulu

 Jurusan Peternakan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jl. Prof. Dr. Herman Yohanes Lasiana Kupang P.O. Box. 1152, Kupang 85011 *Korespondensi: pmalobulu@yahoo.com 

 ABSTRACT 

 Foot and mouth disease (FMD) is one of the most economically important livestock viral diseases in the world. The disease is transmitted either directly or indirectly through contact with contaminated environment. FMD is characterized by fever and vesicles in the mouth, nipples and feet of the animal. Some of the problems and challenges of FMD can include: economic losses, quarantine restrictions, an increase in the price of meat and other livestock products due to a decrease in supply, which can have an impact on inflation and people's purchasing power, transmission to other animals, decreased livestock production, disease control costs, such as vaccination costs and costs for treating infected animals. Prevention and eradication of FMD requires a comprehensive approach that includes strict adherence to biosecurity measures, vaccination, active surveillance, quarantine, control of animal movement, as well as education and awareness. Key Words: Epidemiology, Prevention and eradication of Food and Mouth Disease, District of Kupang. 

 PENDAHULUAN 

 Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah salah satu penyakit virus ternak yang paling penting secara ekonomi di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Aphthovirus dan menyerang sapi, babi, domba, serta banyak spesies satwa liar berkuku belah dimana terdapat tujuh serotipe virus, yaitu A, O, C, Asia 1, dan SAT 1, 2, dan 3 (Pal, 2018). Virus PMK menyebar melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau kotorannya, serta dapat ditularkan sebagai aerosol melalui sekresi pernapasan dan melalui susu, air mani, dan konsumsi pakan dari hewan yang terinfeksi yang ditandai dengan demam dan vesikel di mulut, ambing, dan kaki hewan (Amaral Doel et al., 2009). Morbiditas dapat mencapai 100% pada populasi yang rentan, tetapi kematian jarang terjadi kecuali pada hewan muda (Chowdhury et al., 1993). PMK dapat mengganggu produksi ternak dan membutuhkan sumber daya yang signifikan untuk mengendalikannya (Winarsih, 2018). PMK dapat memiliki efek yang signifikan pada peternakan Indonesia berupa kerugian produksi, pembatasan perdagangan, dan biaya pengendalian serta eradikasi. Masalah dan hambatan yang terjadi dalam masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan Bulu, Review: Epidemiologi… 63 PMK di NTT bahkan Indonesia secara keseluruhan dapat berupa penerapan tindakan biosekuriti, vaksinasi, surveilans, karantina, dan kontrol pergerakan hewan. Tindakan atau aktivitas pencegahan dan pengendalian tersebut walaupun beberapa kelihatan sederhana namun seringkali abai untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Disamping itu, para peternak pemula bahkan belum mengenal PMK itu sendiri karena penyakit ini telah lama menghilang dari Indonesia. Oleh karena itu pemahaman terhadap penyakit ini termasuk gejala klinis dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh petani-peternak menjadi sangat penting untuk diketahui. Pencegahan dan pengendalian penyakit PMK yang efektif sangat penting untuk diperhatikan secara serius karena dapat memengaruhi pertumbuhan sub-sektor peternakan dan perekonomian nasional secara keseluruhan. Epidemiologi, pengendalian, dan pemberantasan PMK memerlukan pendekatan multifaset yang mencakup vaksinasi, pembatasan pergerakan, tindakan biosekuriti, dan pemusnahan hewan yang terinfeksi. Indonesia telah berhasil di masa lalu memberantas PMK melalui program vaksinasi yang intensif dan menjadi modal untuk menghadapi PMK yang terjadi saat ini. Kerja sama internasional sangat penting untuk keberhasilan program pemberantasan PMK, karena penyakit ini dapat dengan cepat menyebar lintas batas. Program pemberantasan PMK telah berhasil di beberapa kawasan, seperti Amerika Utara, sementara di kawasan lain, seperti Afrika dan Asia, masih menghadapi tantangan yang signifikan. 

 PEMECAHAN MASALAH 

 Dari segi epidemiologi dan penularan, virus PMK terutama menyerang hewan berkuku belah dari ordo Artiodactyla, termasuk sapi, babi, domba, kambing, dan spesies satwa liar (Belsham et al., 2021). Namun, virus PMK juga telah dilaporkan pada >70 spesies artiodactyla liar, termasuk kerbau Afrika, bison, jerapah, unta dan beberapa spesies rusa dan kijang (Rahman et al., 2020). Ada 7 serotipe virus PMK yaitu: A, O, C, Asia 1, dan SAT (South Africa Region) 1, 2, dan 3 dan keragaman lebih lanjut ditemukan antar strain dalam masing-masing serotipe (Belsham et al., 2021). Meskipun PMK telah diberantas dari beberapa wilayah termasuk Amerika Utara dan Eropa. Namun, PMK tersebar secara global di seluruh dunia, dan sebagian besar Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan dinyatakan endemik penyakit ini (Lihat Gambar 1).

 Link-->Full Paper

How to Cite/ Sitasi artkel ini-->Bulu, P.M., 2023. Epidemiologi, Penanggulangan Dan Pemberantasan Penyakit Mulut Dan Kuku (Pembelajaran dari Wabah PMK Indonesia 1887-1997). Partner28(1), pp.62-72.



Selasa, 31 Desember 2024

Happy New Year 2025

 





Jumat, 20 Desember 2024

Kisaran Respiratory Rate per menit berbagai Hewan Piaraan




Video Link


 

Kisaran Pulsus Rate Berbagai Hewan Piaraan



Video Link



Kisaran Suhu Rectal Normal Hewan Piaraan


 

Video Link


Share this