Kantor Rumah Ilmu

Somewhere on Earth.

Ruang Rapat Rumah Ilmu

Somewhere on the Earth.

Ruang Press Conference Rumah Ilmu

Somewhere on Earth.

PLBN Motaain

Kab Belu NTT

Tampilkan postingan dengan label artikel Jurnal Internasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel Jurnal Internasional. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 Januari 2025

Manajemen Peternakan Babi dan Kontribusinya terhadap Kejadian Demam Babi Afrika di Kupang, Indonesia


 

Judul dalam bahasa Inggris: Pig Farm Management and Its Contribution to The African Swine Fever Incidences in Kupang, Indonesia


Petrus Malo Bulu 1*, Agustinus Paga 1 , Anita S. Lasakar 2 , Ewaldus Wera 1 

1Department of Animal Husbandry, Kupang Agricultural Polytechnic, Kupang, Indonesia, 2Veterinary Technical Implementation Unit of Provincial Animal Livestock of East Nusa Tenggara Province, Kupang, Indonesia. 

*Corresponding author: pmalobulu@yahoo.com 


Abstrak

Penelitian ini mengevaluasi praktik pemeliharaan dan manajemen yang diadopsi oleh peternak babi dan potensi penyakit Demam Babi Afrika (ASF) di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Praktik pemeliharaan dan manajemen yang dievaluasi meliputi latar belakang pendidikan, pekerjaan utama, kandang ternak, sistem pakan ternak dan air minum, manajemen reproduksi, dan kondisi tubuh babi. Data dikumpulkan dari 300 peternak babi menggunakan wawancara dan kuesioner. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kupang Timor dan Amabi Oefeto dari bulan Juni hingga Oktober 2022. Penelitian ini melaporkan beberapa faktor yang berpotensi mempengaruhi penularan ASF. Praktik-praktik ini dapat ditingkatkan untuk mencegah potensi penularan ASF. Latar belakang pendidikan peternak babi, pekerjaan utama, manajemen kandang, pemberian pakan swill, dan manajemen reproduksi berpotensi berkontribusi terhadap penularan ASF di Kupang selama periode wabah.

Kata kunci: Demam Babi Afrika, peternakan, Kupang, manajemen, babi


PENDAHULUAN

Peternakan babi telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perdagangan lokal dan internasional, ekonomi petani, dan ketahanan pangan global (Van der Waal dan Deen, 2018). Karena babi merupakan sumber uang tunai dan daging yang signifikan, mereka telah memainkan peran penting dalam ekonomi dan kegiatan budaya masyarakat Kupang. Mereka melakukannya saat bepergian untuk berdagang dan alasan lainnya. Untuk membendung penyebaran penyakit, ribuan babi harus mati di Kupang karena sejumlah wabah ASF. Demam Babi Afrika (ASF) telah dikaitkan dengan penyebaran karena perdagangan internasional, satwa liar, tindakan biosekuriti yang tidak memadai, pemberian makanan, kurangnya pengetahuan dan kesadaran, pergerakan babi ilegal, kurangnya imunisasi, dan faktor risiko lainnya (Dixon et al. 2020). Faktor-faktor lain termasuk interaksi langsung dengan hewan peliharaan yang sakit atau rentan. Penularan ASF juga dikaitkan dengan vektor kutu lunak, kepadatan babi, variabel antropogenik, faktor habitat, dan kontak langsung antara babi peliharaan yang sakit dan rentan (Blome et al., 2013; Costard et al., 2013; Fasina et al., 2012; Ma et al., 2020). Faktor risiko ASF di Kupang belum dipahami dengan baik. Kami berhipotesis bahwa manajemen peternakan yang buruk mungkin telah memperburuk kemungkinan masuknya dan menyebarnya penyakit menular, seperti ASF di peternakan babi. Karena praktik manajemen dan perumahan telah berubah sebagai akibat dari peningkatan intensifikasi hewan, ada bahaya yang lebih besar dari penyebaran penyakit ke hewan (Fasina et al., 2011). Babi harus dirawat dan dikelola dengan cara yang mengurangi kemungkinan penyebaran ASF. Hal ini mencakup tata cara penempatan, pemberian makan, dan pembersihan. Kesenjangan studi dalam kasus ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang bagaimana sebenarnya peternakan babi dan praktik manajemen berkontribusi terhadap munculnya ASF di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Meskipun ada informasi tentang wabah ASF di negara lain, seperti Indonesia, diperlukan studi lebih lanjut tentang faktor lokal yang memengaruhi penyebaran penyakit di Kupang. Selain itu, laporan awal ASF di Indonesia menyatakan bahwa penyakit tersebut telah merenggut nyawa lebih dari 50.000 babi di sejumlah lokasi, yang mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi petani dan masyarakat umum (Dharmayanti et al., 2021; Primatika et al., 2022). Namun, terdapat kekurangan informasi mengenai faktor risiko ASF terkait peternakan babi Kupang. Studi yang dilakukan di wilayah tersebut sangat penting karena pentingnya peternakan babi berkelanjutan sebagai sumber pendapatan bagi penduduk setempat, terutama di daerah pedesaan di mana peternakan babi merupakan sumber pendapatan yang signifikan (Purnama et al., 2020). Temuan penelitian ini dapat berkontribusi pada pengembangan teknik pengendalian yang lebih efektif untuk menghentikan penyebaran ASF dan menjaga peternakan babi di wilayah tersebut tetap layak secara ekonomi. Untuk lebih memahami praktik peternakan dan pengelolaan di wilayah Kupang, yang dapat mencegah potensi penyakit menular seperti ASF, penelitian ini dilakukan. 

BAHAN DAN METODE

Sampel

Penelitian ini dilakukan di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur dari bulan Juni-Oktober 2022. Kecamatan berisiko tinggi ini dipilih berdasarkan laporan, diskusi, dan temuan sebelumnya yang didokumentasikan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Kupang. Penelitian cross sectional dilakukan dengan melibatkan 300 peternak babi di 2 kecamatan terpilih, yaitu Kupang Timur dan Amabi Oefeto (Gambar 1), yang merupakan sentra produksi babi dan daerah berisiko tinggi dengan tingkat kematian babi yang tinggi. Gambar 1. Wilayah penelitian di Kupang, Indonesia. Desain Penelitian

Pemilik babi di Kupang Timur dan Amabi Oefeto menyediakan data primer, yang dikumpulkan melalui wawancara tatap muka dan kuesioner. Informasi utama tentang praktik pembiakan, lokasi peternakan, latar belakang pendidikan, pekerjaan utama, kandang ternak, pakan untuk hewan, manajemen reproduksi, dan kondisi tubuh babi semuanya disertakan. Analisis Data Data dari survei dimasukkan ke dalam spreadsheet Microsoft Excel 2011 untuk Windows dan diekspor ke program statistik IBM SPSS Statistics versi 26 untuk analisis deskriptif. Untuk setiap variabel yang diukur, fungsi frekuensi dihitung. 

HASIL DAN PEMBAHASAN 

Karakteristik Peternak Babi Hanya 4,3% pemilik babi tidak pernah bersekolah, sedangkan mayoritas (30,3%) menyelesaikan sekolah menengah pertama (Tabel 1). Dari pemilik babi yang dihubungi, beternak babi bukanlah pekerjaan utama mereka. Sisanya 5,3% adalah pegawai pemerintah, dengan petani pertanian merupakan bagian terbesar (94,7%). Keberhasilan pengelolaan peternakan dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan peternak, terutama dalam hal adopsi teknologi dan akses terhadap pengetahuan tentang hewan. Peternak babi di Kabupaten Kupang memiliki latar belakang pendidikan yang beragam, namun mayoritas (30,3%) telah menyelesaikan pendidikan SMP. Produktivitas peternakan dapat ditingkatkan dengan memiliki landasan pendidikan yang kuat, terutama dalam hal pengetahuan dan keterampilan untuk kesehatan dan produksi hewan (Davis et al., 2012). Selain itu, pendidikan meningkatkan produktivitas peternakan ketika teknologi kontemporer digunakan (Paltasingh dan Goyari, 2018). Program penyuluhan harus mempertimbangkan standar pendidikan pemilik untuk memastikan bahwa materi yang dibuat sesuai untuk target audiens dan diberikan dengan cara yang wajar. Sangat penting bagi peternak di Kupang untuk lebih sering melakukan vaksinasi. Bagi peternak yang kisahnya didengar, bertani merupakan pekerjaan paruh waktu. Input yang tidak memadai untuk babi mereka dari kegiatan paruh waktu ini menyebabkan produktivitas rendah dan kesehatan hewan yang buruk. Praktik Peternakan Mayoritas petani (55,7%) telah membangun kandang yang menghadap ke timur untuk rumah mereka, sementara petani lainnya (44,3%) telah membangun kandang yang menghadap ke barat, utara, atau selatan (Tabel 1). Mayoritas kandang yang dibangun (55,7%) juga diisolasi dengan semen, sementara kandang lainnya (44,3%) masih terbuat dari kayu atau tidak diisolasi. Mayoritas kandang (55,7%) memiliki kemiringan lantai 45 derajat, yang mirip dengan kemiringan kandang. Sementara peternak lainnya membiarkan ternak mereka makan dan minum di tempat yang sama atau membiarkan mereka mencari makan dan minum sendiri, sebagian besar peternak (55,7%) juga telah melengkapi kandang mereka dengan wadah makan dan minum untuk babi. Menurut hasil penelitian, 94,7% peternak tidak memiliki kandang khusus untuk pengeraman. Untuk mencegah pengap dan bau yang tidak disukai babi, kandang harus mudah dibersihkan, cepat kering, terlindung dari suhu ekstrem, kelembaban, angin, dan panas, serta memungkinkan sirkulasi udara yang baik. Kelembaban relatif yang ideal untuk kandang babi dapat bergantung pada sejumlah faktor, seperti ukuran dan usia babi, iklim tempat kandang berada, jenis sistem ventilasi yang digunakan, dan faktor-faktor lainnya. Namun, rekomendasi mendasar untuk kelembaban relatif di kandang babi diberikan oleh American Society of Agricultural and Biological Engineers (ASABE). Menurut rekomendasi ASABE, kandang babi harus memiliki kelembaban relatif antara 40% dan 70%. Kisaran ini ditentukan oleh kebutuhan untuk pengendalian kelembaban yang efisien, penyaringan udara, dan kebutuhan untuk mengurangi risiko pertumbuhan jamur, masalah pernapasan, dan masalah kesehatan babi lainnya (American Society of Agricultural and Biological Engineer (ASABE), 2018). Banyak faktor, termasuk ukuran dan desain kandang, usia dan ukuran babi, lingkungan, dan lokasi kandang, dapat memengaruhi tekanan angin yang ideal untuk kandang babi. Rekomendasi umum untuk tekanan angin di kandang babi diberikan oleh ASABE. Menurut rekomendasi ASABE, tekanan angin maksimum untuk kandang babi tidak boleh melebihi 0,2 inci kolom air, atau 50 Pascal (Pa). Tekanan maksimum ini telah ditetapkan untuk mengurangi kemungkinan babi menghadapi angin dingin dan masalah pernapasan serta memastikan bahwa kandang babi memiliki ventilasi yang memadai. Kecepatan angin minimum 0,75 mil per jam juga direkomendasikan untuk kandang babi, menurut ASABE (Fabian, 2018). Manajemen Pakan Karena menjamin nutrisi yang optimal, pengendalian biaya, manajemen kesehatan, peningkatan produktivitas, efisiensi yang lebih besar, dan kepatuhan terhadap peraturan, sistem penyimpanan pakan dan manajemen pakan peternakan babi sangat penting untuk keberhasilannya (Patience et al., 2015). Studi tersebut menemukan bahwa 99,7% petani tidak memiliki gudang pakan untuk menyimpan pakan ternak (Tabel 1). Penanganan dan pengelolaan bahan pakan yang efektif selama penyimpanan diperlukan untuk menjaga kualitas pakan dan menghindari kerugian finansial akibat kerusakan pakan. Pendirian gudang pakan dapat mengurangi kerugian akibat kerusakan pakan selama penyimpanan, sehingga peternak di Kupang perlu memperhatikan praktik ini. Hanya 5,7% peternak yang masih menggunakan pemberian pakan swill, yang masih dianggap praktik yang ketinggalan zaman. Pemberian pakan swill telah ditetapkan sebagai faktor risiko penularan ASF di beberapa negara di Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika Selatan (Acosta et al., 2023; Arias et al., 2018; Fritzemeier et al., 2000; Pavlak et al., 2011; Ribbens et al., 2004). Namun, sebagian besar peternak (94,7%) menyiapkan sisa pakan yang mereka beli dari sumber luar. Pemberian pakan swill juga memiliki dampak negatif terhadap peternak, termasuk masuknya dan menyebarnya virus penyakit melalui sisa pakan. Pemberian pakan swill mungkin berkontribusi terhadap penyebaran ASF di Eropa. Pemberian pakan swill merupakan praktik umum di kalangan peternak babi di Kupang. Hal ini terbukti dari temuan penelitian, yang menunjukkan bahwa 5,7% dari 300 peternak yang disurvei terus menggunakan pakan swill. Pihak berwenang tidak melarang distribusi pemberian pakan swill di Kupang, tetapi diperkirakan bahwa pemberian pakan swill perlu dimasak dengan benar pada suhu tertentu untuk menonaktifkan virus.

Manajemen Reproduksi

Ini melibatkan berbagai teknik dan perawatan yang ditujukan untuk meningkatkan fungsi reproduksi, memastikan pasokan daging babi premium yang stabil dan efektif. Hasil survei menunjukkan bahwa semua peternak babi menggunakan metode perkawinan alami (Tabel 1). Mayoritas (50%) keluarga memanfaatkan babi hutan dari peternakan tetangga, sementara 46% peternak menggunakan babi mereka sendiri dan 4% menggunakan babi hutan dari desa-desa terdekat. Pengetahuan yang baik tentang fisiologi babi dan kapasitas untuk menggunakan teknik manajemen yang sesuai sangat penting untuk manajemen reproduksi yang efektif (Koketsu et al., 2017). Untuk membuat strategi manajemen reproduksi untuk peternakan babi, sangat penting untuk melibatkan dokter hewan dan profesional industri lainnya. Performa reproduksi babi dapat dioptimalkan melalui berbagai metode yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas keseluruhan kawanan dan keberhasilan finansial peternakan babi (Cole, 2020). Manajemen pembiakan, deteksi panas, inseminasi buatan (IB), kehamilan, melahirkan, manajemen anak babi, dan manajemen kesehatan kawanan merupakan aspek penting dari manajemen reproduksi (Roca et al., 2011).

Menurut beberapa penelitian yang dilakukan di Belanda, Belgia, dan Serbia (Benard et al., 1999; Mintiens et al., 2003; Stanojevi et al., 2015), perkawinan alami pada babi, khususnya, berpotensi memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyebaran penyakit hewan menular seperti ASF. Selain itu, ASF ditemukan di jaringan testis babi hutan yang terinfeksi selama penyakit subklinis, menurut penyelidikan lain (Choi dan Chae, 2002). Meskipun perkawinan alami telah digunakan dalam peternakan babi selama ribuan tahun, kami menyarankan untuk mempertimbangkan potensi efek negatif karena metode ini dapat meningkatkan risiko penularan ASF dengan memanfaatkan babi hutan yang berpotensi terinfeksi. Kondisi Tubuh Babi

Mayoritas peternak (93,3%) memiliki babi dengan kondisi tubuh sedang, diikuti oleh babi dengan kondisi tubuh gemuk (5,3%), babi kurus (1%) dan babi sangat kurus (0,3% peternak) (Tabel 1). Kesehatan fisik babi secara signifikan memengaruhi ketahanan mereka terhadap berbagai penyakit, termasuk infeksi menular. Kondisi fisik babi dapat berdampak besar pada kesehatan umum, kebahagiaan, dan produktivitas mereka (Miller et al., 2012). Menjaga babi dalam kondisi fisik yang baik memiliki sejumlah keuntungan, termasuk peningkatan fungsi imunologi, peningkatan pertumbuhan dan perkembangan, peningkatan kualitas daging, dan penurunan angka kematian (Coffey et al., 2000; Cole, 2020). Babi betina yang dipelihara dalam kesehatan yang baik hidup lebih lama dan menghasilkan produksi yang lebih konsisten. 

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar variabel di Kupang yaitu latar belakang pendidikan, pekerjaan utama, manajemen kandang, pemberian pakan swill, manajemen reproduksi, dan kondisi tubuh babi dapat berkontribusi terhadap penularan ASF di wilayah penelitian. Melalui pertemuan, kunjungan, dan program penyuluhan yang didukung oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, manajemen dan metode pemeliharaan babi di Kupang dapat ditingkatkan untuk mengurangi kemungkinan masuk dan menyebarnya penyakit menular.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini didanai oleh Politeknik Pertanian Negeri Kupang melalui Daftar Pelaksana Anggaran Politeknik Pertanian Negeri Kupang Tahun Anggaran 2022 Nomor: SP DIPA. 023.18.2.677616/2022. Penelitian ini dilaksanakan dengan bekerja sama dengan Unit Pelaksana Teknis Veteriner Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang.


Link to --> Full paper

               --> Halaman Jurnal


How to cite this paper:

Bulu, P.M., Paga, A., Lasakar, A.S. and Wera, E., 2023. Pig Farm Management and Its Contribution to The African Swine Fever Incidences in Kupang, Indonesia. Jurnal Medik Veteriner6(2), pp.155-161.


Jika mereka dapat memilih: Bagaimana anjing menghabiskan hari-harinya? Pola aktivitas pada empat populasi anjing peliharaan

 


Judul dalam Bahasa Inggris: 

If they could choose: How would dogs spend their days? Activity patterns in four populations of domestic dogs


Highlights

• Di seluruh benua, anjing domestik yang berkeliaran bebas menunjukkan pola aktivitas bimodal.

• Pola ini hanya ditemukan pada setengah dari anjing peliharaan, yang sebagian besar dikendalikan oleh manusia.

• ​​Tingkat aktivitas total serupa pada anjing peliharaan dan anjing domestik yang berkeliaran bebas.

• Aktivitas tinggi dan istirahat lebih tinggi pada anjing peliharaan dibandingkan pada anjing yang berkeliaran bebas, aktivitas sedang lebih rendah.

• Usia, skor kondisi tubuh, dan pengebirian berhubungan negatif dengan aktivitas.

Abstrak
Meskipun anjing domestik yang berkeliaran bebas (FRDD) merupakan mayoritas populasi anjing di seluruh dunia, banyak aspek ekologi mereka di berbagai habitat masih sedikit diketahui. Anggaran aktivitas anjing-anjing ini juga dapat menginformasikan keputusan pengelolaan untuk anjing domestik yang berada di tangan manusia. Di sini kami mengumpulkan data tentang pola aktivitas FRDD milik sendiri dari Guatemala (n = 58) dan Indonesia (n = 37), serta anjing peternakan (n = 11) dan anjing keluarga (n = 20) di Swiss. FRDD dari kedua negara dan anjing peternakan Swiss memiliki kesamaan bahwa meskipun mereka memiliki pemilik, mereka menghabiskan sebagian besar atau seluruh hari di luar tanpa kurungan. Sebaliknya, aktivitas pada anjing keluarga sebagian besar dikendalikan oleh pemiliknya. Dengan demikian, studi lintas benua ini memungkinkan kami untuk memisahkan dampak lingkungan pada aktivitas anjing dari dampak akibat berbagai tingkat kendali oleh manusia. Anjing dipasangi pelacak aktivitas FitBark, yang mengukur akselerasi 3D, selama 2,4–7 hari. Aktivitas untuk setiap anjing didefinisikan sebagai jumlah BarkPoints (metrik aktivitas berkelanjutan yang direkam oleh pelacak FitBark), dihitung untuk setiap jam dalam siklus 24 jam. Proporsi waktu istirahat, dalam aktivitas 'sedang' dan 'tinggi' (didefinisikan oleh ambang batas tetap BarkPoints) selama 24 jam dihitung untuk setiap anjing. Pola aktivitas semua anjing yang (sebagian) berkeliaran bebas, yaitu FRDD milik di Guatemala dan Indonesia dan anjing pertanian Swiss, menunjukkan dua puncak selama 24 jam selama pukul 5:00–7:00 dan, kurang jelas, pukul 16:00–19:00. Pola aktivitas bimodal seperti itu, yang juga diamati pada spesies anjing lainnya, hanya dapat dideteksi pada 45% anjing keluarga. Aktivitas mereka lebih bergantung pada rutinitas harian pemilik dan sebagian besar menunjukkan satu puncak tengah hari yang tinggi yang sering berubah dari hari ke hari. Anjing Swiss menghabiskan lebih banyak waktu untuk beristirahat dan lebih sedikit waktu dengan aktivitas 'sedang' daripada FRDD milik. Namun, anjing keluarga secara signifikan lebih sering sangat aktif daripada semua kelompok anjing lainnya dan mengimbanginya dengan periode istirahat yang lebih lama. Aktivitas menurun secara signifikan seiring bertambahnya usia, pengebirian, dan peningkatan skor kondisi tubuh, sedangkan jenis kelamin tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap aktivitas. Dalam penelitian ini, persamaan, tetapi juga perbedaan pola aktivitas antara FRDD milik dan anjing peliharaan dapat diungkap. Meskipun tingkat aktivitas keseluruhan sampel anjing peliharaan berada dalam kisaran yang diamati dalam FRDD yang kurang terkontrol, akan menarik untuk menyelidiki potensi manfaat dari jadwal harian yang lebih terstruktur pada anjing peliharaan dalam penelitian mendatang.

1. Pendahuluan
Anjing (Canis familiaris) merupakan spesies pertama yang dijinakkan sekitar 15–30.000 tahun yang lalu (Freedman dkk., 2014, Irving-Pease dkk., 2018, Skoglund dkk., 2015). Saat ini, populasi anjing peliharaan global diperkirakan mencapai 900 juta ekor dan merupakan spesies karnivora yang paling melimpah (Gompper, 2013). Hanya 15–25% dari mereka yang merupakan anjing peliharaan (Gompper, 2013, Hughes dan Macdonald, 2013), yang dipelihara untuk alasan-alasan seperti persahabatan, bantuan bagi penyandang cacat, tugas militer atau kepolisian, pengembangbiakan atau olahraga. Sepanjang hidup mereka, mereka dirawat di bawah pengawasan langsung manusia, sehingga mereka bergantung pada praktik pemeliharaan pemiliknya. Mayoritas anjing peliharaan di seluruh dunia termasuk dalam kelompok anjing liar (Gompper, 2013). Mereka sebagian besar ditemukan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Anjing liar umumnya dibagi menjadi tiga kategori, berdasarkan tingkat ketergantungannya pada manusia (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia, O.I.E, 2009a, 2009b). Kategori pertama meliputi anjing liar yang tidak bergantung pada manusia untuk makan atau berkembang biak. Kategori kedua meliputi anjing yang tidak memiliki pemilik khusus tetapi bergantung pada masyarakat setempat untuk makan. Mereka dapat disebut sebagai anjing lingkungan atau anjing desa (Flores-Ibarra dan Estrella-Valenzuela, 2004, Ortolani et al., 2009). Kategori ketiga terdiri dari anjing milik yang dibiarkan berkeliaran tanpa batasan atau pengawasan. Anjing dari dua kategori terakhir juga disebut anjing domestik yang berkeliaran bebas (FRDD) (Bombara et al., 2017, Dürr et al., 2017, Warembourg et al., 2020). Anjing yang dimiliki secara umum merupakan mayoritas populasi FRDD di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, dengan proporsi anjing tanpa pemilik berkisar antara 0% hingga 20% (Dürr et al., 2009, Gsell et al., 2012, Matter et al., 2000, Muthiani et al., 2015, Touihri et al., 2011, Warembourg et al., 2020). Akan tetapi, penelitian yang dilakukan di India dan Bangladesh menunjukkan bahwa sebagian besar populasi terdiri dari individu tanpa pemilik, masing-masing sebesar 61,5% dan 40% (Hossain et al., 2013, Sudarshan et al., 2001).
Terlepas dari lokasi geografis, populasi FRDD yang dimiliki memiliki beberapa fitur umum. Jantan sering kali merupakan bagian terbesar dari populasi (Czupryna et al., 2016, Mauti et al., 2017, Morters et al., 2014a, Pulczer et al., 2013, Van Kesteren et al., 2013), hewan yang dikebiri jarang ditemukan, kecuali jika kampanye sterilisasi baru-baru ini dilakukan (Hiby et al., 2011, Kitala et al., 2001, Morters et al., 2014b, Wera et al., 2015), pergantian hewan tinggi karena rendahnya pengendalian reproduksi dan tingkat kematian tinggi (Acosta-Jamett et al., 2010, Conan et al., 2015), dan harapan hidup sering kali rendah (Mauti et al., 2017). Pemilik cenderung memelihara FRDD untuk berbagai keperluan, seperti menjaga, menggembala, berburu, berteman, berjualan, atau mengonsumsi daging (Warembourg et al., 2021). Namun, alasan paling umum memelihara anjing adalah menjaga rumah dan ternak (Bouli et al., 2020, Van Kesteren et al., 2013, Warembourg et al., 2021).
Sedikit yang diketahui tentang pola aktivitas harian FRDD, ​​yaitu anjing yang dapat membuat keputusan kehidupan sehari-hari sendiri, tanpa banyak pengaruh manusia. Salah satu dokumentasi pertama tentang pola perilaku harian anjing perkotaan berasal dari tahun 1975 (Beck, 1975). Beck mempelajari ekologi FRDD di kota Baltimore (AS) dan mengamati kecenderungan dua puncak aktivitas utama pada siang hari; puncak pertama di pagi hari sekitar pukul 5:00–8:00, dan puncak kedua di malam hari antara pukul 19:00–22:00. Kedua periode tersebut khususnya penting selama bulan-bulan musim panas. Ia menunjukkan bahwa tidak adanya aktivitas yang diamati pada siang hari selama musim panas dapat diartikan sebagai upaya menghindari panas (Beck, 1975). Sebuah penelitian yang menyelidiki FRDD di lingkungan perkotaan di India mengungkapkan bahwa anjing memusatkan aktivitas mereka pada saat aktivitas manusia di jalan lebih tinggi (Majumder et al., 2014). Dengan demikian, anjing-anjing tersebut aktif terutama antara pukul 06.30–10.30 dan antara pukul 16.30–19.30, dan menghabiskan siang hari sebagian besar untuk beristirahat (Majumder et al., 2014). Distribusi aktivitas bimodal seperti itu juga diamati pada anjing liar, seperti serigala (Canis lupus) dan rubah merah (Vulpes vulpes), di lingkungan yang berbeda, yang menunjukkan bahwa hubungan dengan aktivitas manusia tidak mungkin menjadi satu-satunya alasan untuk pola ini (Boitani dan Cuicci, 1995, Kusak et al., 2005, Theuerkauf et al., 2003, Zingaro dan Boitani, 2018). Namun, studi serupa pada dingo bertentangan dengan pola aktivitas dua puncak yang teratur pada anjing (McNeill et al., 2016). Mereka menemukan bahwa mayoritas dari 37 dingo yang dilacak sebagian besar aktif di malam hari, yang menunjukkan bahwa hal ini terkait dengan periode waktu aktivitas manusia yang rendah dan kelimpahan mangsanya (McNeill et al., 2016).
Di masyarakat Barat, anjing domestik sebagian besar dipelihara sebagai anjing peliharaan dan aktivitasnya hampir sepenuhnya dikendalikan oleh manusia. Dengan demikian, mereka kurang mampu membentuk pola aktivitasnya sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Saat ini belum diketahui bagaimana aktivitas FRDD yang dimiliki, yang sebagian besar independen dari manusia, dibandingkan dengan aktivitas pada anjing peliharaan yang berada di bawah kendali manusia tingkat tinggi.
Saat ini, tersedia teknologi untuk memberikan ukuran terperinci aktivitas hewan selama siklus 24 jam penuh secara objektif. Misalnya, pelacak aktivitas FitBark (https://www.FitBark.com) telah digunakan dalam beberapa penelitian yang menyelidiki efek ras, berat, usia, atau jenis kelamin pada pola aktivitas pada anjing peliharaan (Di Cerbo et al., 2017, Patel et al., 2017, Zamansky et al., 2019). Keuntungan menggunakan teknologi pelacakan untuk tujuan ini adalah bahwa aktivitas direkam selama 24 jam, memberikan pengukuran yang lebih objektif dan tidak bias daripada pengambilan sampel titik, dan bahwa potensi gangguan oleh pengamat manusia dapat dikesampingkan. Sebuah studi terkini menunjukkan bahwa pengukuran FitBark sangat berkorelasi dengan pengamatan aktivitas fisik anjing tanpa tali (Colpoys dan DeCock, 2021). Dengan demikian, pelacakan aktivitas merupakan alat yang berguna untuk melengkapi studi observasional (Bhattacharjee dan Bhadra, 2020, Majumder et al., 2014) terhadap aktivitas anjing yang berkeliaran bebas.
Tujuan dari studi terkini adalah untuk membandingkan pola aktivitas anjing peliharaan (yang sepenuhnya bergantung pada manusia) dengan pola aktivitas anjing FRDD (dimiliki, tetapi jauh lebih sedikit dikendalikan oleh manusia) pada empat populasi anjing domestik di tiga benua berbeda. Dengan menggunakan pelacak aktivitas FitBark, kami menyelidiki pola aktivitas selama siklus 24 jam pada anjing FRDD milik sendiri dari Indonesia dan Guatemala, serta anjing peliharaan keluarga di Swiss dan anjing pekarangan yang tinggal di peternakan Swiss (selanjutnya disebut anjing peternakan). Anjing peternakan di Swiss dibiarkan berkeliaran bebas setidaknya sebagian dari waktunya, dan terkadang mereka tidak dikurung sama sekali, mirip dengan anjing FRDD milik sendiri di Indonesia dan Guatemala. Anjing keluarga di Swiss dipelihara di dalam rumah atau flat dan hanya dapat meninggalkan rumah saat pemiliknya mengajak mereka jalan-jalan. Beberapa anjing keluarga memiliki taman kecil yang tersedia untuk mereka gunakan.
Mempelajari anjing dengan sedikit campur tangan manusia dari tiga benua memungkinkan kami untuk menilai bagaimana lingkungan memengaruhi pola aktivitas khusus spesies, sementara perbandingan dengan anjing peliharaan memungkinkan kami untuk menilai sejauh mana hewan peliharaan memiliki pola aktivitas yang menyerupai anjing yang berkeliaran bebas. Hal ini mungkin menarik khususnya terkait jadwal manajemen yang ideal untuk anjing peliharaan dan anjing pekerja.

Link to Full paper

How to cite this paper: 
Griss, S., Riemer, S., Warembourg, C., Sousa, F.M., Wera, E., Berger-Gonzalez, M., Alvarez, D., Bulu, P.M., Hernández, A.L., Roquel, P. and Dürr, S., 2021. If they could choose: How would dogs spend their days? Activity patterns in four populations of domestic dogs. Applied animal behaviour science243, p.105449.

Jumat, 03 Januari 2025

Menganalisis faktor risiko seropositif kelompok ternak terhadap Classical Swine Fever (Hog Cholera) di Timor Barat, Indonesia

 


Judul Bahasa Inggris:  

Analyzing risk factors for herd seropositivity to classical swine fever in West Timor, Indonesia

Petrus Malo Bulu a b

Share this