Oleh Dr.drh.Petrus Malo Bulu,MVSc
Sektor peternakan Indonesia tengah dihadapkan pada dua ancaman besar yang berpotensi meruntuhkan ketahanan pangan dan ekonomi nasional: African Swine Fever (ASF) pada babi dan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan berkuku belah. Kedua penyakit ini bukan hanya mengancam nyawa hewan ternak, tetapi juga membawa dampak kerugian ekonomi yang masif. Di tengah situasi ini, penerapan biosekuriti yang ketat dan sistem kontrol penyakit yang komprehensif harus menjadi prioritas utama pemerintah, pelaku industri, dan peternak.
Kerugian Ekonomi: Pelajaran dari ASF dan PMK
ASF, yang pertama kali terdeteksi di Indonesia pada akhir 2019, telah memusnahkan ribuan babi di Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan daerah lainnya. Penyakit mematikan ini memiliki tingkat kematian hingga 100%, dan dampaknya langsung terasa pada peternak skala kecil yang kehilangan sumber penghidupan. Di tingkat nasional, wabah ASF menyebabkan penurunan produksi daging babi hingga 30% pada 2020-2021, memicu lonjakan harga dan ketergantungan impor. Sementara itu, PMK yang mewabah sejak Mei 2022 telah menginfeksi lebih dari 600.000 hewan (terutama sapi dan kerbau) di 24 provinsi. Kementerian Pertanian memperkirakan kerugian ekonomi langsung mencapai Rp9,8 triliun, belum termasuk dampak tidak langsung seperti penurunan produktivitas, gangguan ekspor, dan biaya vaksinasi darurat. Pada tahun 2025, kerugian diprediksi menembus angka 40 triliun. Kedua contoh ini membuktikan bahwa wabah penyakit hewan tidak hanya merugikan peternak, tetapi juga membebani APBN dan mengganggu stabilitas pasokan pangan.
Biosekuriti: Investasi yang Terlambat Dioptimalkan
Biosekuriti—protokol pencegahan penyakit melalui sanitasi, kontrol pergerakan hewan, dan manajemen risiko—seharusnya menjadi garis pertahanan pertama. Sayangnya, di Indonesia, implementasinya masih timpang. Pada kasus PMK, misalnya, lemahnya pengawasan di pintu masuk negara diduga menjadi penyebab awal masuknya virus. Sementara pada ASF, praktik pembuangan bangkai babi yang tidak aman mempercepat penyebaran penyakit. Negara-negara seperti Vietnam dan Brasil telah membuktikan bahwa biosekuriti yang ketat mampu mengurangi dampak wabah. Vietnam, melalui program zonasi (pembagian wilayah bebas dan terinfeksi) dan disinfeksi massal, berhasil menekan penyebaran ASF. Brasil, sebagai eksportir daging terbesar dunia, menerapkan standar karantina tinggi untuk mempertahankan status bebas PMK. Indonesia perlu mencontoh langkah ini dengan memperkuat inspeksi di pelabuhan, bandara, dan daerah rentan, serta membatasi pergerakan hewan dari zona wabah.
Kolaborasi dan Pendidikan Peternak: Kunci Keberhasilan
Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Edukasi kepada peternak tentang pentingnya biosekuriti dasar—seperti desinfeksi kandang, kontrol lalu lintas orang, dan pelaporan dini—harus masif dilakukan. Banyak peternak tradisional belum memahami bahwa kendaraan pengangkut pakan atau sepatu pengunjung bisa menjadi medium pembawa virus. Pelibatan penyuluh pertanian, organisasi peternak, dan pihak swasta dalam program pelatihan perlu diintensifkan. Di sisi lain, anggaran untuk kesehatan hewan harus ditingkatkan. Alokasi dana vaksinasi PMK (Rp4,5 triliun pada 2023) patut diapresiasi, namun langkah pencegahan seperti penguatan laboratorium diagnostik dan riset vaksin mandiri harus menjadi fokus jangka panjang.
Menjaga Martabat Peternak dan Kedaulatan Pangan
Dampak ASF dan PMK tidak sekadar angka statistik. Ribuan peternak kecil terjerat utang akibat kematian hewan, sementara harga dangkal di pasar global karena stigma wabah. Jika Indonesia gagal memperbaiki sistem biosekuriti, ketergantungan pada impor daging akan semakin dalam, mengancam kedaulatan pangan. Pemerintah perlu mendeklarasikan "perang" terhadap wabah penyakit hewan dengan regulasi yang lebih tegas, transparansi data, dan sinergi lintas sektor. Momentum pemulihan PMK dan pengendalian ASF harus dijadikan pelajaran berharga: biosekuriti bukanlah biaya, melainkan investasi untuk menyelamatkan masa depan peternakan Indonesia.
Penutup
Kerugian akibat ASF dan PMK adalah alarm keras: tanpa sistem biosekuriti yang modern dan kepatuhan kolektif, Indonesia akan terus rentan terhadap wabah berikutnya. Mari jadikan tragedi ini sebagai titik balik untuk membangun peternakan yang lebih tangguh, demi melindungi ekonomi rakyat dan piring makan masyarakat.