REVIEW: EPIDEMIOLOGI, PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT MULUT DAN KUKU (Pembelajaran dari Wabah PMK Indonesia 1887-1997)

 

Petrus Malo Bulu*1)

1) Jurusan Peternakan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jl. Prof. Dr. Herman Yohanes Lasiana Kupang P.O. Box. 1152, Kupang 85011

*Korespondensi: pmalobulu@yahoo.com

 

ABSTRACT

 

Foot and mouth disease (FMD) is one of the most economically important livestock viral diseases in the world. The disease is transmitted either directly or indirectly through contact with contaminated environment. FMD is characterized by fever and vesicles in the mouth, nipples and feet of the animal. Some of the problems and challenges of FMD can include: economic losses, quarantine restrictions, an increase in the price of meat and other livestock products due to a decrease in supply, which can have an impact on inflation and people's purchasing power, transmission to other animals, decreased livestock production, disease control costs, such as vaccination costs and costs for treating infected animals. Prevention and eradication of FMD requires a comprehensive approach that includes strict adherence to biosecurity measures, vaccination, active surveillance, quarantine, control of animal movement, as well as education and awareness.

 

Key Words: Epidemiology, Prevention and eradication of Food and Mouth Disease, District of Kupang.

 

PENDAHULUAN

 

 

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah salah satu penyakit virus ternak yang paling penting secara ekonomi di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Aphthovirus dan menyerang sapi, babi, domba, serta banyak spesies satwa liar berkuku belah dimana terdapat tujuh serotipe virus, yaitu A, O, C, Asia 1, dan SAT 1, 2, dan 3 (Pal, 2018). Virus PMK menyebar melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau kotorannya, serta dapat ditularkan sebagai aerosol melalui sekresi pernapasan dan melalui susu, air mani, dan konsumsi pakan dari hewan yang terinfeksi yang ditandai dengan demam dan vesikel di mulut, ambing, dan kaki hewan (Amaral Doel et al., 2009). Morbiditas dapat mencapai 100% pada populasi yang rentan, tetapi kematian jarang terjadi kecuali pada hewan muda (Chowdhury et al., 1993). PMK dapat mengganggu produksi ternak dan membutuhkan sumber daya yang signifikan untuk mengendalikannya (Winarsih, 2018). PMK dapat memiliki efek yang signifikan pada peternakan Indonesia berupa kerugian produksi, pembatasan perdagangan, dan biaya pengendalian serta eradikasi. Masalah dan hambatan yang terjadi dalam masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan


PMK di NTT bahkan Indonesia secara keseluruhan dapat berupa penerapan tindakan biosekuriti, vaksinasi, surveilans, karantina, dan kontrol pergerakan hewan. Tindakan atau aktivitas pencegahan dan pengendalian tersebut walaupun beberapa kelihatan sederhana namun seringkali abai untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Disamping itu, para peternak pemula bahkan belum mengenal PMK itu sendiri karena penyakit ini telah lama menghilang dari Indonesia. Oleh karena itu pemahaman terhadap penyakit ini termasuk gejala klinis dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh petani-peternak menjadi sangat penting untuk diketahui. Pencegahan dan pengendalian penyakit PMK yang efektif sangat penting untuk diperhatikan secara serius karena dapat memengaruhi pertumbuhan sub-sektor peternakan dan perekonomian nasional secara keseluruhan. Epidemiologi, pengendalian, dan pemberantasan PMK memerlukan pendekatan multifaset yang mencakup vaksinasi, pembatasan pergerakan, tindakan biosekuriti, dan pemusnahan hewan yang terinfeksi. Indonesia telah berhasil di masa lalu memberantas PMK melalui program vaksinasi yang intensif dan menjadi modal untuk menghadapi PMK yang terjadi saat ini. Kerja sama internasional sangat penting untuk keberhasilan program pemberantasan PMK, karena penyakit ini dapat dengan cepat menyebar lintas batas. Program pemberantasan PMK telah berhasil di beberapa kawasan, seperti Amerika Utara, sementara di kawasan lain, seperti Afrika dan Asia, masih menghadapi tantangan yang signifikan.

 

PEMECAHAN MASALAH

 

 

Dari segi epidemiologi dan penularan, virus PMK terutama menyerang hewan berkuku belah dari ordo Artiodactyla, termasuk sapi, babi, domba, kambing, dan spesies satwa liar (Belsham et al., 2021). Namun, virus PMK juga telah dilaporkan pada >70 spesies artiodactyla liar, termasuk kerbau Afrika, bison, jerapah, unta dan beberapa spesies rusa dan kijang (Rahman et al., 2020). Ada 7 serotipe virus PMK yaitu: A, O, C, Asia 1, dan SAT (South Africa Region) 1, 2, dan 3 dan keragaman lebih lanjut ditemukan antar strain dalam masing-masing serotipe (Belsham et al., 2021). Meskipun PMK telah diberantas dari beberapa wilayah termasuk Amerika Utara dan Eropa. Namun, PMK tersebar secara global di seluruh dunia, dan sebagian besar Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan dinyatakan endemik penyakit ini (Lihat Gambar 1).


 

 

 

Gambar 1. Sebaran PMK secara global tahun 2023. Sumber gambar: Dr. Antonello Di Nardo, Vesicular Disease Reference Laboratory, The Pirbright Institute.

 

Wabah PMK pertama kali dilaporkan di Indonesia terjadi di Jawa Timur pada tahun 1887 diikuti oleh wabah di Pulau Madura pada tahun 1906 dan 1913, kemudian PMK menjadi endemik di Jawa Timur dan menyebar ke seluruh Jawa dan pulau-pulau lain termasuk Sumatera (1892), Kalimantan (1906), Sulawesi (1902), Nusa Tenggara Barat (1911) dan Bali (1962) (Soehadji et al., 1994) (Lihat Gambar 2). Indonesia telah dinyatakan bebas PMK tanpa vaksinasi sejak tahun 1986 (Quigley, 2022; Soehadji et al., 1994). Namun, bulan April tahun 2022 wabah PMK kembali terjadi di Gresik Jawa Timur dan kemudian menyebar ke beberapa provinsi di Indonesia diantaranya Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dan NTB serta hampir seluruh provinsi di Pulau Sumatera (Zainuddin et al., 2023).


Gambar 2. Sebaran PMK di Indonesia 2023, Sumber: World organization for animal health (WOAH)

 

 

Potensi masuknya virus PMK ke daerah yang sebelumnya bebas PMK karena beberapa faktor termasuk populasi yang rentan seperti babi diberi makanan impor


yang berasal dari hewan yang terinfeksi (Di Nardo et al., 2011; Garner and Beckett, 2005), virus menyebar dari babi hingga 3.000 kali lebih banyak virus daripada sapi , dan orang dapat bertindak sebagai vektor mekanis PMK dengan membawa virus pada pakaian atau kulit (Callis and Gregg, 2017; Pal, 2018; Stenfeldt et al., 2016). Adapun Ketahanan virus PMK di berbagai lingkungan adalah sebagai berikut: bertahan hingga 20 minggu pada jerami, 14 hari pada feses kering di musim panas, 6 bulan pada bubur feses di musim dingin, 39 hari pada urin, 3-28 hari pada tanah dimana tingkat kelangsungan hidup virus tergantung pada tingkat kontaminasi awal. Disamping itu, virus tahan terhadap lingkungan tetapi dapat dinonaktifkan di luar kisaran pH 6-9, melalui pengeringan, dan pada suhu >56°C, dan tahan terhadap pelarut lipid seperti eter dan kloroform (Turner et al., 2000). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penularan tidak langsung antara lain kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, kepadatan populasi hewan, penggunaan peralatan pemeliharaan yang tidak steril, serta pengelolaan limbah dan cadangan pakan yang tidak tepat. Pada Gambar 3 dapat dilihat tanda-tanda klinis pada sapi termasuk demam 40°C, diikuti dengan perkembangan lesi vesikular pada lidah, langit-langit keras, spacer gigi, bibir, gusi, moncong, rim bands, dan ruang interstitial, tangan dan puting pada sapi laktasi (Doll, 2001).

 

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 3. Tanda-Tanda Klinis PMK, (a) Hipersalivasi & Nasal discharge, (b) Lesi pada mulut sapi, (c) Lesi erosif pada kaki sapi, (d) Lesi yang mulai sembuh pada lapisan gigi sapi, (e) Lesi yang mulai sembuh pada lidah sapi, (f) Lesi pada kaki dengan vesikula yang sudah pecah pada babi (Sumber Gambar: National Veterinary Institute, DTU Vet, Lindholm, Denmark.)

 

Lepuh di mulut yang pecah dapat saling menempel dan membentuk slide tetapi sembuh dengan cepat, sekitar 11 hari setelah lepuh terbentuk (Belsham et al.,


2021). Lebih lanjut peneliti ini menjelaskan bahwa lepuh di kaki membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh dan lebih rentan terhadap infeksi bakteri yang menyebabkan ketimpangan kronis. Disamping itu, mastitis bakteri sekunder sering terjadi karena lepuh puting yang terinfeksi yang menyebabkan resistensi susu. Beberapa peneliti (Kitching and Alexandersen, 2002) melaporkan bahwa setelah timbulnya penyakit vesikular, sapi dengan cepat melemah dan produksi susu menurun, yang dapat bertahan lama, kadang-kadang, anak sapi muda bisa mati tanpa tanda-tanda klinis penyakit virus yang menyebabkan kerusakan pada otot jantung yang sedang berkembang. PMK pada babi terutama merupakan penyakit kaki yang didominasi oleh pembentukan vesikel yang agak menyakitkan di epidermis kaki (pita koroner, celah interdigital) dikombinasikan dengan ketimpangan yang parah menyebabkan artritis purulen pada sendi pedal (Heinritzi and Bollwahn, 2001). Tanda-tanda klinis PMK pada domba dan kambing mungkin tidak terlihat jelas. Namun, pincang seringkali merupakan tanda klinis pertama PMK yang diamati pada domba dan kambing. Infeksi sekunder menyebabkan penurunan produksi susu, pincang kronis dan kerentanan terhadap infeksi virus lainnya termasuk cacar air domba/kambing dan peste des petits ruminansia. Infeksi pada domba dan kambing yang belum dewasa dapat menyebabkan kematian tanpa tanda klinis (Kitching and Alexandersen, 2002). Unta yang terinfeksi secara eksperimental sering dilaporkan memiliki penyakit klinis ringan, sedangkan kerbau dapat memiliki luka mulut dan kaki yang lebih cepat sembuh dan tidak separah sapi. Infeksi PMK pada satwa liar menyerupai penyakit klinis pada hewan peliharaan (Belsham et al., 2021). Pencegahan dan Pengendalian PMK di Dunia bervariasi. Beberapa program Pencegahan dan pengendalian yang diterapkan di berbagai negara yang dirangkum dari beberapa sumber (Cai et al., 2014; Gleeson, 2002), tersaji dalam Tabel 1 berikut:

 

Tabel 1. Tindakan Pencegahan dan Pemberantasan PMK yang Diterapkan di Beberapa Negara di Dunia.

Tindakan Pencegahan dan Pengendalian

 

Penjelasan

 

Negara

 

 

Vaksinasi

Program vaksinasi dapat diterapkan untuk melindungi ternak terhadap PMK. Ini adalah langkah penting dalam mengendalikan dan mencegah wabah.

Inggris, USA, Spanyol, Australia, Selandia Baru, China, Indonesia

 

Pembatasan Pergerakan hewan

Membatasi pergerakan hewan, terutama selama wabah, dapat membantu mencegah penyebaran penyakit.

Inggris, USA, Australia, New Zealand, India, Indonesia

 

 

Karantina

Karantina hewan yang terinfeksi dan hewan yang kontak dekat dengan hewan terinfeksi dapat mencegah penyebaran virus.

Australia,     USA,                              New Zealand, Inggris, Kanada


 

Tindakan Pencegahan dan Pengendalian

 

Penjelasan

 

Negara

 

 

 

 

Surveillans

 

 

Sistem surveilans aktif dapat membantu mendeteksi wabah lebih awal, memungkinkan tindakan cepat diambil untuk mengendalikan penyakit.

USA, Inggris, Australia, New Zealand, Kanada, Brasil, Argentina, Chile, Meksiko, dan Afrika Selatan

 

 

 

Biosecurity

 

Menerapkan langkah-langkah biosekuriti yang ketat di peternakan, seperti pembersihan dan disinfeksi secara teratur, dapat mengurangi risiko wabah PMK.

USA, Inggris, Australia, Kanada, New Zealand

 

Pembatasan Perdagangan

Pembatasan perdagangan hewan dan produk hewan dari daerah tertular dapat mencegah penyebaran penyakit.

USA, Australia, Uni Eropa, Korea Selatan, Jepang

 

 

 

Disinfeksi

 

Disinfeksi yang tepat terhadap tempat, peralatan, dan kendaraan yang terinfeksi diperlukan untuk mencegah penyebaran PMK.

USA, Australia, Inggris, New Zealand, Kanada, Jepang, Korea selatan, China

 

 

 

Depopulasi dan pemusnahan

Jika terjadi wabah, hewan yang terinfeksi mungkin perlu dimusnahkan untuk mencegah penyebaran penyakit. Depopulasi harus dilakukan secara manusiawi dan sesuai dengan standar kesejahteraan hewan.

Inggris, USA, Australia, New Zealand, dan Jepang.

 

Berkaitan dengan upaya pemberantasan PMK di Indonesia, pemberantasan PMK  di  Indonesia  1887-1986  dapat  dijadikan  pembelajaran  penting  dalam

menangani dan memberantas PMK yang terjadi saat ini. Soehadji et al., (1994)

menjelaskan bahwa pada tahun 1974, otoritas peternakan Indonesia membagi negara menjadi 3 zona PMK; zona bebas penyakit; zona yang dicurigai; dan zona terinfeksi, di mana langkah-langkah yang diterapkan termasuk pergerakan hewan yang ketat dan langkah-langkah karantina untuk melindungi zona bebas penyakit dan pengawasan rutin untuk zona yang dicurigai dan program vaksinasi massal di zona yang terinfeksi. Dimana pada gilirannya banyak daerah yang dinyatakan bebas PMK setelah program vaksinasi massal diterapkan. Kasus terakhir penyakit ini terjadi pada Desember 1983 dan vaksinasi terakhir dilakukan di Jawa pada tahun 1985 dan dinyatakan bebas PMK pada tahun 1986 (Susanti, 2022). Penanganan kasus PMK selama 100 tahun di Indonesia menelan biaya atau menyebabkan kerugian ekonomi sebesar USD 1,66 miliar atau sekitar 29-34 triliun rupiah (Susanti, 2022). Kementerian Pertanian memproyeksi kerugian ekonomi langsung dari PMK yang terjadi akibat penurunan produksi susu, infertilitas, aborsi, kematian, penurunan produktivitas kerja dan penurunan berat badan diperkirakan sebesar 11,6 Triliun, belum termasuk kerugian tidak langsung dari dampak penyakit tersebut (CNN Indonesia, 2022). Belajar dari pengalaman penanganan PMK selama satu abad Indonesia dipercaya sudah lebih siap. Dengan demikian


untuk kembali membebaskan Indonesia dari PMK maka harus membuat peta jalan pemberantasan dengan program yang jelas dan terukur memanfaatkan semua sumber daya yang ada dan melibatkan semua stakeholders serta bekerja lintas sektoral.

Beberapa tindakan penting dalam mencegah dan memberantas PMK dapat dijabarkan sebagai berikut: Vaksinasi. Di China, program vaksinasi dilaporkan sangat efektif dengan lebih dari 70% hewan terlindungi dari serotipe Asia-1 dan O (Cai et al., 2014). Keberhasilan pemberantasan PMK di Indonesia tahun 1990an merupakan hasil dari penerapan vaksinasi intensif di sekitar daerah yang terinfeksi, pengendalian lalu lintas ternak dan pengawasan aktif yang terus menerus dilakukan (Sasaki, 1993). Disamping itu, negara-negara di Amerika Selatan terbebas dari PMK karena menerapkan program vaksinasi (Sutmoller et al., 2003). Namun demikian, pemilihan vaksin yang tepat untuk Indonesia perlu diperhatikan karena vaksin PMK tidak bersifat proteksi silang (non cross protective) dimana setiap vaksin hanya spesifik untuk serotipe penyebab penyakit. Pembatasan Pergerakan Hewan. Kontrol pergerakan hewan adalah kendala penting lainnya dalam mencegah dan memberantas PMK. Perpindahan hewan yang terinfeksi merupakan faktor terpenting dalam penyebaran PMK di daerah endemik terinfeksi (Rweyemamu et al., 2008). Oleh karena itu, pembatasan pergerakan hewan menjadi sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut di antara hewan (Sasaki, 1993). Karantina. Tindakan karantina dan program pemberantasan harus dilaksanakan sesegera mungkin setelah diagnosis cepat terutama di negara-negara yang biasanya bebas infeksi (Wagari, 2016). Biosekuriti. Peningkatan biosekuriti pada level peternakan merupakan langkah pencegahan dan pengendalian PMK yang sangat penting. Di Thailand misalnya Peternak di unit produksi sapi dan babi dididik tentang penerapan praktik biosekuriti yang baik di peternakan mereka untuk mencegah masuknya virus PMK ke dalam peternakan (Yano et al., 2018). Di NTT, salah satu kendala paling kritis adalah menerapkan langkah-langkah biosekuriti yang efektif di peternakan termasuk protokol kebersihan yang ketat, seperti mendisinfeksi peralatan dan kendaraan, membatasi akses ke peternakan, dan meminimalkan kontak dengan hewan lain karena hampir seluruh peternakan di NTT merupakan peternakan skala rumah tangga. Oleh karena itu perlu dicarikan format yang sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Pembatasan Perdagangan: Pembatasan perdagangan menjadi salah satu pilihan tindakan pencegahan dan penanggulangan PMK di dunia, dimana perdagangan ternak dalam periode wabah memiliki dampak yang serius terhadap penyebaran PMK (Shanafelt and Perrings,


2017). Disinfeksi. Disinfeksi dipandang sebagai praktik penting dalam mencegah dan memberantas PMK di peternakan khususnya membantu membunuh virus, mencegah penularan, melindungi ternak, mendukung kepatuhan, dan hemat biaya (Gleeson, 2002). Depopulasi dan Pemusnahan (Depopulation and Stamping-Out). Di negara-negara yang bebas PMK secara tradisional, stamping-out adalah pilihan pertama untuk memberantas penyakit ini dan sebagai garis pertahanan pertama seringkali cukup berhasil, dengan syarat jika penyakit belum menyebar terlalu luas dan jika kepadatan ternak di daerah tersebut relatif rendah (Sutmoller et al., 2003). Pada negara berkembang program ini dianggap tidak visible karena ketiadaan dana untuk kompensasi bagi peternak. Sebagai gantinya program vaksinasi menjadi pilihan dalam mencegah dan mengendalikan PMK. Peringatan Dini (Early Warning) penting untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran PMK pada hewan ternak. Sistem ini memungkinkan deteksi dini dan respons cepat terhadap kemunculan penyakit, sehingga dapat mengurangi risiko penyebaran penyakit yang lebih luas dan membantu meminimalkan kerugian ekonomi bagi peternak dan industri peternakan serta menjaga kesehatan hewan ternak (Malesios et al., 2017). Surveilans aktif merupakan kegiatan penting dalam pencegahan dan pemberantasan PMK dimana surveillans harus dilakukan sebagai langkah peringatan dini terhadap kemungkinan masuk dan menyebarnya PMK dalam sebuah peternakan (Perez et al., 2011), dimana program ini dipercaya memberikan perlindungan penting terhadap impor dan penyebaran penyakit PMK dan melindungi konsumen dan produsen dari serangan penyakit yang berpotensi menghancurkan produksi peternak lokal (Kompas et al., 2010). Pendidikan dan Kesadaran: Peternak berada dalam posisi terbaik untuk menjadi yang pertama mendeteksi penyimpangan apa pun dari normal, karena mereka mengamati ternak mereka setiap hari dan paling mengetahui tentang kondisi umum hewan yang mereka rawat. Oleh karena itu, program yang meningkatkan pendidikan dan kesadaran peternak harus dikembangkan dan dipromosikan (McLaws et al., 2009).

 

SIMPULAN

 

 

Penyakit Mulut dan Kuku merupakan penyakit virus yang sangat menular dan belum ditemukan vaksin untuk Pencegahan dan pengendaliannya serta tidak ada obat untuk mengobatinya. Pencegahan dan pengendaliannya dapat dilakukan dengan penerapan biosecurity yang ketat dan tindakan-tindakan pencegahan dan pengendalian lainnya seperti penghentian perpindahan hewan dan produk hewan


yang merupakan host dari PMK itu sendiri. Pengendalian PMK dapat berhasil dicapai dengan penerapan langkah-langkah pengendalian termasuk vaksinasi, biosekuriti, pembatasan pergerakan hewan, pembatasan perdagangan, peringatan dini, dan peningkatan pendidikan dan kesadaran peternak. Di negara-negara yang biasanya bebas PMK, pemusnahan hewan yang terinfeksi dan mereka yang berisiko tinggi tertular mutlak dilakukan. Namun, di Indonesia, vaksinasi menjadi pilihan utama. PMK membawa dampak yang sangat serius pada perekonomian suatu negara terutama pada ekonomi peternak dan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk program pencegahan dan pengendaliannya. Analysis resiko perlu dilakukan untuk membandingkan seberapa serius ancaman PMK untuk wilayah NTT dan untuk memastikan seberapa banyak daya upaya yang harus disiapkan sebagai rencana contingensi PMK.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alexandersen, S., Zhang, Z., Donaldson, A.I., 2002. Aspects of the persistence of foot-and-mouth disease virus in animals—the carrier problem. Microbes Infect. 4, 1099–1110.

 

Amaral Doel, C.M.F., Gloster, J., Valarcher, J.-F., 2009. Airborne transmission of foot-and-mouth disease in pigs: Evaluation and optimisation of instrumentation and techniques. Vet. J. 179, 219–224. https://doi.org/10.1016/j.tvjl.2007.09.010

 

Belsham, G.J., Botner , A., Lohse, L., 2021. Foot-and-Mouth Disease in Animals - Generalized Conditions, in: Merck Veterinary Manual.

 

Cai, C., Li, H., Edwards, J., Hawkins, C., Robertson, I.D., 2014. Meta-analysis on the efficacy of routine vaccination against foot and mouth disease (FMD) in China.                    Prev.                   Vet.                    Med.                   115, 94–100. https://doi.org/10.1016/j.prevetmed.2014.03.020

 

Callis, J.J., Gregg, D.A., 2017. Foot-and-mouth disease, in: Handbook of Zoonoses.

CRC Press, pp. 453–461.

 

Chowdhury, S., Rahman, M.F., Rahman, M.B., Rahman, M.M., 1993. Foot and mouth disease and its effects on morbidity, mortality, milk yield and draft power in Bangladesh. Asian-Australas. J. Anim. Sci. 6, 423–426.

 

CNN Indonesia, 2022. Kerugian Ekonomi RI Akibat Penyakit Mulut dan Kuku Sapi Rp11,6 T. ekonomi.

 

Di Nardo, A., Knowles, N.J., Paton, D.J., 2011. Combining livestock trade patterns with phylogenetics to help understand the spread of foot and mouth disease in sub-Saharan Africa, the Middle East and Southeast Asia. Rev. Sci. Tech.-OIE 30, 63.


 

Doll, K., 2001. [Clinical picture and differential diagnosis of foot and mouth disease in cattle. DTW Dtsch. Tierarztl. Wochenschr. 108, 494–498.

 

Garner, M.G., Beckett, S.D., 2005. Modelling the spread of foot-and-mouth disease in Australia. Aust. Vet. J. 83, 758–766.

 

Gleeson, L.J., 2002. A review of the status of foot and mouth disease in South-East Asia and approaches to control and eradication. Rev. Sci. Tech.-Off. Int. Épizooties 21, 465–472.

 

Heinritzi, K., Bollwahn, W., 2001. [Clinical signs and differential diagnosis of foot and mouth disease in pigs. DTW Dtsch. Tierarztl. Wochenschr. 108, 504–507.

 

Kitching, R.P., Alexandersen, S., 2002. Clinical variation in foot and mouth disease: pigs. Rev. Sci. Tech.-Off. Int. Épizooties 21, 513–516.

 

Kompas, T., Che, N.T., Pham, V.H., 2010. An optimal surveillance measure against foot                    and                    mouth      disease          in                        the                    United     States. HttpwwwcrawfordanueduaudegreesidecworkingpapersIDEC06-11pdf.

 

Malesios, C., Kostoulas, P., Dadousis, K., Demiris, N., 2017. An early warning indicator for monitoring infectious animal diseases and its application in the case of a sheep pox epidemic. Stoch. Environ. Res. Risk Assess. 31, 329–337.

 

McLaws, M., Ribble, C., Martin, W., Wilesmith, J., 2009. Factors associated with the early detection of foot-and-mouth disease during the 2001 epidemic in the United Kingdom. Can. Vet. J. 50, 53–60.

 

Pal, M., 2018. Foot and mouth disease: A highly infectious viral zoonosis of global importance. J Appl Microbiol Biochem 2, 12.

 

Paton, D.J., Gubbins, S., King, D.P., 2018. Understanding the transmission of foot-and-mouth disease virus at different scales. Curr. Opin. Virol. 28, 85–91.

 

Perez, A., AlKhamis, M., Carlsson, U., Brito, B., Carrasco-Medanic, R., Whedbee, Z., Willeberg, P., 2011. Global animal disease surveillance. Spat. Spatio-Temporal Epidemiol. 2, 135–145.

 

Quigley, A., 2022. Foot and Mouth Disease Outbreak in Indonesia: Summary and Implications 4. https://doi.org/10.31646/gbio.175

 

Rahman, A., Dhama, K., Ali, Q., Raza, M.A., Chaudhry, U., Shabbir, M.Z., 2020. Foot and mouth disease in a wide range of wild hosts: a potential constraint in disease control efforts worldwide particularly in disease-endemic settings. Acta Trop. 210, 105567.

 

Rweyemamu, M., Roeder, P., Mackay, D., Sumption, K., Brownlie, J., Leforban, Y., Valarcher, J.-F., Knowles, N.J., Saraiva, V., 2008. Epidemiological Patterns of Foot-and-Mouth Disease Worldwide. Transbound. Emerg. Dis. 55, 57–72. https://doi.org/10.1111/j.1865-1682.2007.01013.x


Sasaki, M., 1993. Patterns of national and international livestock movement in Southeast Asia: implication for a regional foot-and-mouth disease control program, in: ACIAR PROCEEDINGS. Australian Centre for International Agricultural Research, pp. 75–75.

 

Shanafelt, D.W., Perrings, C.A., 2017. Foot and mouth disease: the risks of the international trade in live animals: -EN- -FR- Fièvre aphteuse: les risques liés aux échanges internationaux d’animaux vivants -ES- Fiebre aftosa y riesgos del comercio internacional de animales vivos. Rev. Sci. Tech. OIE 36, 839–865. https://doi.org/10.20506/rst.36.3.2719

 

Soehadji, Malole, M., Setyaningsih, H., 1994. The experience of Indonesia in the control and eradication of foot-and-mouth disease. [Workshop paper], in: ACIAR Proceedings - Australian Centre for International Agricultural Research (Australia). Presented at the International Workshop, Lampang (Thailand), 6 Sep 1993, Australian Centre for International Agricultural Research.

 

Stenfeldt, C., Pacheco, J.M., Brito, B.P., Moreno-Torres, K.I., Branan, M.A., Delgado, A.H., Rodriguez, L.L., Arzt, J., 2016. Transmission of foot-and-mouth disease virus during the incubation period in pigs. Front. Vet. Sci. 3, 105.

 

Susanti, 2022. Lesson Learned dari Kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia.                                                         FMIPA                                                         UNNES.                                URL https://mipa.unnes.ac.id/v3/2022/12/leason-learn-dari-kasus-penyakit-m ulut-dan-kuku-pmk-di-indonesia/ (accessed 3.5.23).

 

Sutmoller, P., Barteling, S.S., Olascoaga, R.C., Sumption, K.J., 2003. Control and eradication of foot-and-mouth disease. Virus Res. 91, 101–144. https://doi.org/10.1016/S0168-1702(02)00262-9

 

Turner, C., Williams, S.M., Cumby, T.R., 2000. The inactivation of foot and mouth disease, Aujeszky’s disease and classical swine fever viruses in pig slurry. J. Appl. Microbiol. 89, 760–767.

 

Wagari, A., 2016. Seroprevalence of Foot and Mouth Disease in Bulls of Borana Origin Quarantined in Adama. Int. J. Biochem. Biophys. Mol. Biol.

 

Winarsih, W.H., 2018. Penyakit ternak yang perlu diwaspadai terkait keamanan pangan. Cakrawala 12, 208–221.

 

Yano, T., Premashthira, S., Dejyong, T., Tangtrongsup, S., Salman, M.D., 2018. The Effectiveness of a Foot and Mouth Disease Outbreak Control Programme in Thailand 2008–2015: Case Studies and Lessons Learned. Vet. Sci. 5, 101. https://doi.org/10.3390/vetsci5040101

 

Zainuddin, N., Susila, E.B., Wibawa, H., Daulay, R.S.D., Wijayanti, P.E., Fitriani, D., Hidayati, D.N., Idris, S., Wadsworth, J., Polo, N., Hicks, H.M., Mioulet, V., Knowles, N.J., King, D.P., 2023. Genome Sequence of a Foot-and-Mouth Disease Virus Detected in Indonesia in 2022. Microbiol. Resour. Announc. 0, e01081-22. https://doi.org/10.1128/mra.01081-22


Link to original full paper


How to cite:

Bulu, P.M., 2023. Epidemiologi, Penanggulangan Dan Pemberantasan Penyakit Mulut Dan Kuku (Pembelajaran dari Wabah PMK Indonesia 1887-1997). Partner28(1), pp.62-72.

Share this