Petrus Malo Bulu*1)
1) Jurusan Peternakan, Politeknik
Pertanian Negeri Kupang, Jl. Prof. Dr. Herman Yohanes Lasiana Kupang P.O. Box. 1152, Kupang 85011
*Korespondensi: pmalobulu@yahoo.com
ABSTRACT
Foot and mouth disease (FMD) is
one of the most economically important livestock viral diseases in the world.
The disease is transmitted either directly or indirectly through contact with contaminated environment. FMD is characterized by fever and vesicles in the
mouth, nipples and feet of the animal. Some of the problems and challenges of
FMD can include: economic losses, quarantine restrictions, an increase in the
price of meat and other livestock products due to a decrease in supply, which
can have an impact on inflation and people's purchasing power, transmission to
other animals, decreased livestock production, disease control costs, such as
vaccination costs and costs for treating
infected animals. Prevention and eradication of FMD requires a comprehensive
approach that includes strict adherence to biosecurity measures, vaccination,
active surveillance, quarantine, control of animal movement, as well as
education and awareness.
Key Words: Epidemiology, Prevention and eradication of Food and Mouth Disease,
District of Kupang.
PENDAHULUAN
Penyakit
Mulut dan Kuku (PMK) adalah salah satu penyakit virus
ternak yang paling penting
secara ekonomi di dunia. Penyakit
ini disebabkan oleh infeksi
Aphthovirus dan menyerang sapi, babi, domba, serta banyak spesies satwa liar berkuku belah dimana terdapat
tujuh serotipe virus,
yaitu A, O, C, Asia 1, dan SAT
1, 2, dan 3 (Pal, 2018). Virus PMK menyebar melalui kontak dengan hewan
yang terinfeksi atau
kotorannya, serta dapat ditularkan sebagai aerosol melalui sekresi pernapasan dan melalui susu, air mani, dan konsumsi
pakan dari hewan
yang terinfeksi yang ditandai dengan demam dan vesikel di mulut, ambing, dan kaki
hewan (Amaral Doel et al.,
2009). Morbiditas dapat mencapai 100% pada
populasi yang rentan, tetapi kematian jarang terjadi kecuali pada hewan muda
(Chowdhury et al.,
1993). PMK dapat mengganggu produksi ternak dan membutuhkan sumber daya
yang signifikan untuk mengendalikannya (Winarsih, 2018). PMK dapat memiliki efek yang signifikan pada peternakan Indonesia berupa kerugian produksi, pembatasan perdagangan, dan biaya pengendalian serta eradikasi. Masalah dan hambatan yang terjadi dalam masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan
PMK di NTT
bahkan Indonesia secara keseluruhan dapat berupa penerapan tindakan
biosekuriti, vaksinasi, surveilans, karantina, dan kontrol pergerakan hewan.
Tindakan atau aktivitas pencegahan dan pengendalian tersebut walaupun beberapa
kelihatan sederhana namun seringkali abai untuk dilaksanakan oleh masyarakat.
Disamping itu, para peternak pemula bahkan belum mengenal PMK itu sendiri karena penyakit ini telah lama
menghilang dari Indonesia. Oleh karena itu pemahaman terhadap penyakit ini
termasuk gejala klinis dan upaya pencegahan
yang dapat dilakukan oleh petani-peternak menjadi sangat penting untuk
diketahui. Pencegahan dan
pengendalian penyakit PMK yang efektif sangat penting untuk diperhatikan secara
serius karena dapat memengaruhi pertumbuhan sub-sektor peternakan dan
perekonomian nasional secara keseluruhan. Epidemiologi, pengendalian, dan
pemberantasan PMK memerlukan pendekatan multifaset yang mencakup vaksinasi,
pembatasan pergerakan, tindakan biosekuriti, dan pemusnahan hewan yang
terinfeksi. Indonesia telah berhasil di masa lalu memberantas PMK melalui
program vaksinasi yang intensif dan menjadi modal untuk menghadapi PMK yang
terjadi saat ini. Kerja sama internasional sangat penting untuk keberhasilan
program pemberantasan PMK, karena penyakit ini dapat dengan cepat menyebar
lintas batas. Program pemberantasan PMK telah berhasil di beberapa kawasan,
seperti Amerika Utara, sementara di kawasan lain, seperti Afrika dan Asia,
masih menghadapi tantangan yang signifikan.
PEMECAHAN MASALAH
Dari segi epidemiologi dan penularan, virus PMK terutama menyerang hewan berkuku belah dari ordo Artiodactyla, termasuk
sapi, babi, domba, kambing, dan spesies satwa liar (Belsham et al., 2021). Namun,
virus PMK juga telah dilaporkan pada >70 spesies artiodactyla liar, termasuk
kerbau Afrika, bison, jerapah, unta dan beberapa spesies
rusa dan kijang (Rahman et al., 2020).
Ada 7 serotipe virus PMK
yaitu: A, O, C, Asia 1, dan SAT (South Africa Region) 1, 2, dan 3 dan keragaman
lebih lanjut ditemukan antar strain dalam masing-masing serotipe (Belsham et
al., 2021). Meskipun PMK telah diberantas dari beberapa wilayah termasuk
Amerika Utara dan Eropa. Namun, PMK tersebar secara global di seluruh dunia,
dan sebagian besar Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan dinyatakan endemik
penyakit ini (Lihat Gambar 1).
Gambar 1. Sebaran PMK secara global tahun 2023. Sumber gambar: Dr. Antonello Di Nardo, Vesicular Disease Reference
Laboratory, The Pirbright Institute.
Wabah PMK
pertama kali dilaporkan di Indonesia terjadi di Jawa Timur pada tahun 1887
diikuti oleh wabah di Pulau Madura pada tahun 1906 dan 1913, kemudian PMK
menjadi endemik di Jawa Timur dan menyebar ke seluruh Jawa dan pulau-pulau lain termasuk Sumatera
(1892), Kalimantan (1906), Sulawesi (1902), Nusa Tenggara Barat (1911) dan Bali
(1962) (Soehadji et al., 1994) (Lihat Gambar 2). Indonesia telah dinyatakan
bebas PMK tanpa vaksinasi sejak tahun 1986 (Quigley, 2022; Soehadji et al.,
1994). Namun, bulan April tahun 2022 wabah PMK kembali terjadi di Gresik Jawa
Timur dan kemudian menyebar ke beberapa provinsi di Indonesia diantaranya Jawa
Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dan NTB
serta hampir seluruh provinsi di Pulau Sumatera (Zainuddin et al., 2023).
![]() |
Gambar 2. Sebaran PMK di Indonesia
2023, Sumber: World organization for animal health
(WOAH)
Potensi masuknya
virus PMK ke daerah yang sebelumnya bebas PMK karena beberapa faktor termasuk populasi
yang rentan seperti
babi diberi makanan
impor
yang
berasal dari hewan yang
terinfeksi (Di Nardo et al., 2011;
Garner and Beckett, 2005), virus menyebar dari babi hingga
3.000 kali lebih banyak virus daripada sapi , dan orang dapat
bertindak sebagai vektor mekanis PMK dengan membawa virus pada pakaian atau
kulit (Callis and Gregg, 2017; Pal,
2018; Stenfeldt et al., 2016). Adapun Ketahanan virus PMK di berbagai
lingkungan adalah sebagai berikut: bertahan hingga 20 minggu pada jerami, 14 hari pada feses
kering di musim panas, 6
bulan pada bubur feses di musim dingin, 39 hari pada urin, 3-28 hari pada tanah
dimana tingkat kelangsungan hidup virus tergantung pada tingkat kontaminasi
awal. Disamping itu, virus tahan
terhadap lingkungan tetapi
dapat dinonaktifkan di luar kisaran pH 6-9, melalui
pengeringan, dan pada suhu >56°C, dan
tahan terhadap pelarut lipid seperti eter dan kloroform (Turner et al., 2000). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
penularan tidak langsung antara lain kondisi sanitasi lingkungan yang buruk,
kepadatan populasi hewan, penggunaan peralatan pemeliharaan yang tidak steril,
serta pengelolaan limbah
dan cadangan pakan
yang tidak tepat. Pada Gambar 3 dapat dilihat tanda-tanda klinis pada
sapi termasuk demam 40°C, diikuti dengan perkembangan lesi vesikular pada
lidah, langit-langit keras, spacer gigi, bibir, gusi, moncong, rim bands, dan
ruang interstitial, tangan dan puting pada sapi laktasi (Doll, 2001).
|
|
|
(a) |
(b) |
(c) |
|
|
|
(d) |
(e) |
(f) |
Gambar 3. Tanda-Tanda Klinis PMK, (a) Hipersalivasi &
Nasal discharge, (b) Lesi
pada mulut sapi, (c) Lesi erosif pada kaki sapi, (d) Lesi yang mulai sembuh pada lapisan
gigi sapi, (e) Lesi yang mulai
sembuh pada lidah sapi, (f) Lesi
pada kaki dengan vesikula
yang sudah pecah pada babi (Sumber
Gambar: National Veterinary Institute, DTU Vet, Lindholm, Denmark.)
Lepuh di mulut yang pecah dapat saling menempel
dan membentuk slide
tetapi sembuh dengan cepat,
sekitar 11 hari setelah lepuh terbentuk (Belsham
et al.,
2021). Lebih lanjut peneliti
ini menjelaskan bahwa lepuh di kaki membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh
dan lebih rentan terhadap infeksi bakteri yang menyebabkan ketimpangan kronis. Disamping itu, mastitis bakteri
sekunder sering terjadi
karena lepuh puting yang terinfeksi yang menyebabkan resistensi susu. Beberapa
peneliti (Kitching and Alexandersen, 2002) melaporkan bahwa setelah timbulnya
penyakit vesikular, sapi dengan cepat melemah dan produksi susu menurun, yang
dapat bertahan lama, kadang-kadang, anak sapi muda bisa mati tanpa tanda-tanda
klinis penyakit virus yang menyebabkan kerusakan pada otot jantung yang sedang
berkembang. PMK pada babi terutama
merupakan penyakit kaki yang didominasi oleh pembentukan vesikel yang agak
menyakitkan di epidermis kaki (pita koroner, celah interdigital) dikombinasikan
dengan ketimpangan yang parah
menyebabkan artritis purulen
pada sendi pedal (Heinritzi
and Bollwahn, 2001). Tanda-tanda klinis PMK pada domba dan kambing mungkin
tidak terlihat jelas. Namun, pincang seringkali merupakan tanda klinis pertama
PMK yang diamati pada domba dan kambing. Infeksi sekunder menyebabkan penurunan
produksi susu, pincang kronis dan kerentanan terhadap infeksi virus lainnya
termasuk cacar air domba/kambing dan peste des petits ruminansia. Infeksi pada
domba dan kambing yang belum dewasa dapat menyebabkan kematian tanpa tanda
klinis (Kitching and Alexandersen, 2002). Unta yang terinfeksi secara
eksperimental sering dilaporkan memiliki penyakit klinis ringan, sedangkan
kerbau dapat memiliki luka mulut dan kaki yang lebih cepat sembuh dan tidak
separah sapi. Infeksi PMK pada satwa liar menyerupai penyakit klinis pada hewan
peliharaan (Belsham et al., 2021). Pencegahan dan Pengendalian PMK di Dunia
bervariasi. Beberapa program Pencegahan dan pengendalian yang diterapkan di
berbagai negara yang dirangkum dari beberapa sumber (Cai et al., 2014; Gleeson,
2002), tersaji dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Tindakan Pencegahan dan Pemberantasan PMK yang Diterapkan di Beberapa Negara
di Dunia.
Tindakan Pencegahan dan
Pengendalian |
Penjelasan |
Negara |
Vaksinasi |
Program vaksinasi dapat diterapkan untuk melindungi ternak terhadap
PMK. Ini adalah langkah penting dalam mengendalikan dan mencegah wabah. |
Inggris, USA, Spanyol, Australia, Selandia Baru,
China, Indonesia |
Pembatasan Pergerakan hewan |
Membatasi pergerakan hewan, terutama selama wabah, dapat membantu
mencegah penyebaran penyakit. |
Inggris, USA, Australia, New Zealand, India, Indonesia |
Karantina |
Karantina
hewan yang terinfeksi dan hewan yang kontak dekat dengan hewan terinfeksi
dapat mencegah penyebaran virus. |
Australia, USA, New Zealand, Inggris, Kanada |
Tindakan Pencegahan dan
Pengendalian |
Penjelasan |
Negara |
Surveillans |
Sistem surveilans aktif dapat membantu mendeteksi wabah lebih awal,
memungkinkan tindakan cepat diambil untuk mengendalikan penyakit. |
USA, Inggris, Australia, New Zealand, Kanada, Brasil,
Argentina, Chile, Meksiko, dan Afrika Selatan |
Biosecurity |
Menerapkan langkah-langkah biosekuriti yang ketat di peternakan,
seperti pembersihan dan disinfeksi secara teratur, dapat mengurangi risiko
wabah PMK. |
USA, Inggris, Australia, Kanada, New Zealand |
Pembatasan Perdagangan |
Pembatasan perdagangan hewan dan produk hewan dari
daerah tertular dapat mencegah penyebaran penyakit. |
USA, Australia, Uni Eropa, Korea Selatan, Jepang |
Disinfeksi |
Disinfeksi yang tepat terhadap tempat, peralatan, dan
kendaraan yang terinfeksi diperlukan untuk mencegah penyebaran PMK. |
USA, Australia, Inggris, New Zealand, Kanada, Jepang, Korea selatan, China |
Depopulasi dan pemusnahan |
Jika terjadi wabah, hewan yang terinfeksi mungkin perlu dimusnahkan
untuk mencegah penyebaran penyakit. Depopulasi
harus dilakukan secara manusiawi dan sesuai dengan standar kesejahteraan hewan. |
Inggris, USA, Australia, New Zealand, dan Jepang. |
Berkaitan dengan upaya pemberantasan PMK di Indonesia, pemberantasan PMK di Indonesia 1887-1986 dapat dijadikan pembelajaran penting dalam
menangani dan memberantas PMK yang terjadi
saat ini. Soehadji
et al., (1994)
menjelaskan bahwa pada tahun 1974, otoritas
peternakan Indonesia membagi negara menjadi 3 zona PMK; zona bebas penyakit;
zona yang dicurigai; dan zona terinfeksi,
di mana langkah-langkah yang diterapkan termasuk pergerakan hewan yang ketat
dan langkah-langkah karantina untuk melindungi zona bebas penyakit dan
pengawasan rutin untuk zona yang dicurigai dan program vaksinasi massal di zona yang terinfeksi. Dimana pada gilirannya banyak daerah yang dinyatakan
bebas PMK setelah program vaksinasi massal diterapkan. Kasus terakhir penyakit
ini terjadi pada Desember 1983 dan vaksinasi
terakhir dilakukan di Jawa pada tahun 1985 dan dinyatakan bebas PMK pada tahun 1986 (Susanti, 2022). Penanganan kasus PMK selama 100 tahun di Indonesia
menelan biaya atau menyebabkan kerugian ekonomi sebesar
USD 1,66 miliar atau sekitar 29-34 triliun rupiah (Susanti, 2022). Kementerian Pertanian memproyeksi kerugian
ekonomi langsung dari PMK yang terjadi akibat penurunan produksi susu,
infertilitas, aborsi, kematian,
penurunan produktivitas kerja dan penurunan berat badan diperkirakan sebesar 11,6 Triliun, belum termasuk kerugian
tidak langsung dari dampak
penyakit tersebut (CNN Indonesia, 2022). Belajar dari pengalaman penanganan PMK selama satu abad Indonesia dipercaya
sudah lebih siap. Dengan demikian
untuk
kembali membebaskan Indonesia dari PMK maka
harus membuat peta jalan pemberantasan dengan program yang jelas dan terukur
memanfaatkan semua sumber daya yang ada dan melibatkan semua stakeholders serta
bekerja lintas sektoral.
Beberapa tindakan
penting dalam mencegah
dan memberantas PMK dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Vaksinasi. Di China, program vaksinasi
dilaporkan sangat efektif dengan lebih dari 70% hewan terlindungi dari serotipe Asia-1 dan O (Cai et al., 2014). Keberhasilan pemberantasan PMK di Indonesia
tahun 1990an merupakan hasil
dari penerapan vaksinasi
intensif di sekitar
daerah yang terinfeksi, pengendalian lalu lintas ternak dan pengawasan aktif yang terus menerus dilakukan
(Sasaki, 1993). Disamping
itu, negara-negara di Amerika Selatan
terbebas dari PMK karena menerapkan program vaksinasi (Sutmoller et al.,
2003). Namun demikian, pemilihan vaksin yang tepat untuk Indonesia perlu
diperhatikan karena vaksin PMK tidak bersifat
proteksi silang (non cross protective) dimana setiap vaksin hanya spesifik
untuk serotipe penyebab
penyakit. Pembatasan
Pergerakan Hewan. Kontrol
pergerakan hewan adalah kendala penting
lainnya dalam mencegah dan memberantas PMK. Perpindahan hewan yang terinfeksi merupakan faktor terpenting
dalam penyebaran PMK di daerah endemik terinfeksi (Rweyemamu et al., 2008).
Oleh karena itu, pembatasan pergerakan hewan menjadi sangat penting
untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut di antara hewan (Sasaki, 1993). Karantina. Tindakan
karantina dan program pemberantasan harus dilaksanakan sesegera mungkin setelah
diagnosis cepat terutama di negara-negara yang
biasanya bebas infeksi
(Wagari, 2016). Biosekuriti. Peningkatan biosekuriti
pada level peternakan merupakan langkah
pencegahan dan pengendalian PMK yang sangat penting. Di Thailand misalnya Peternak di unit
produksi sapi dan babi dididik tentang penerapan
praktik biosekuriti yang baik di peternakan mereka untuk mencegah masuknya virus PMK
ke dalam peternakan (Yano et al., 2018). Di NTT, salah satu kendala paling kritis adalah menerapkan langkah-langkah
biosekuriti yang efektif
di peternakan termasuk
protokol kebersihan yang ketat,
seperti mendisinfeksi peralatan
dan kendaraan, membatasi
akses ke peternakan, dan meminimalkan kontak
dengan hewan lain karena hampir seluruh peternakan di NTT merupakan peternakan
skala rumah tangga. Oleh karena itu perlu dicarikan format yang sesuai dengan
situasi dan kondisi mereka. Pembatasan Perdagangan: Pembatasan perdagangan menjadi salah satu pilihan tindakan
pencegahan dan penanggulangan
PMK di dunia, dimana perdagangan ternak dalam periode wabah memiliki dampak
yang serius terhadap
penyebaran PMK (Shanafelt and Perrings,
2017). Disinfeksi. Disinfeksi dipandang sebagai praktik penting dalam
mencegah dan memberantas PMK di peternakan khususnya membantu membunuh virus,
mencegah penularan, melindungi ternak, mendukung kepatuhan, dan hemat biaya
(Gleeson, 2002). Depopulasi dan Pemusnahan (Depopulation and Stamping-Out). Di
negara-negara yang bebas PMK secara tradisional, stamping-out adalah pilihan
pertama untuk memberantas penyakit ini dan sebagai garis pertahanan pertama
seringkali cukup berhasil, dengan syarat jika penyakit belum menyebar terlalu
luas dan jika kepadatan ternak di daerah
tersebut relatif rendah
(Sutmoller et al., 2003).
Pada negara berkembang program ini dianggap tidak visible karena ketiadaan dana untuk kompensasi bagi peternak.
Sebagai gantinya program vaksinasi menjadi pilihan dalam mencegah dan mengendalikan PMK. Peringatan Dini (Early Warning) penting untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran PMK pada hewan ternak. Sistem ini memungkinkan deteksi
dini dan respons cepat terhadap kemunculan penyakit, sehingga dapat mengurangi
risiko penyebaran penyakit yang lebih luas dan membantu meminimalkan kerugian
ekonomi bagi peternak dan industri peternakan serta menjaga kesehatan hewan
ternak (Malesios et al., 2017). Surveilans aktif merupakan kegiatan penting
dalam pencegahan dan pemberantasan PMK dimana surveillans harus dilakukan
sebagai langkah peringatan dini terhadap kemungkinan masuk dan menyebarnya PMK
dalam sebuah peternakan (Perez
et al., 2011), dimana program
ini dipercaya memberikan perlindungan penting terhadap
impor dan penyebaran penyakit PMK dan melindungi konsumen dan produsen dari
serangan penyakit yang berpotensi menghancurkan produksi peternak lokal (Kompas
et al., 2010). Pendidikan dan
Kesadaran: Peternak berada dalam posisi terbaik untuk menjadi yang pertama
mendeteksi penyimpangan apa pun dari normal, karena
mereka mengamati ternak mereka setiap hari dan paling
mengetahui tentang kondisi umum hewan yang mereka rawat. Oleh karena itu,
program yang meningkatkan pendidikan dan kesadaran peternak harus dikembangkan dan dipromosikan
(McLaws et al., 2009).
SIMPULAN
Penyakit
Mulut dan Kuku merupakan penyakit virus yang sangat menular dan belum ditemukan
vaksin untuk Pencegahan dan pengendaliannya serta tidak ada obat untuk
mengobatinya. Pencegahan dan pengendaliannya dapat dilakukan dengan penerapan
biosecurity yang ketat dan tindakan-tindakan pencegahan dan pengendalian
lainnya seperti penghentian
perpindahan hewan dan produk hewan
yang merupakan host dari PMK
itu sendiri. Pengendalian PMK dapat berhasil dicapai dengan penerapan
langkah-langkah pengendalian termasuk vaksinasi, biosekuriti, pembatasan
pergerakan hewan, pembatasan perdagangan, peringatan dini, dan peningkatan
pendidikan dan kesadaran peternak. Di negara-negara yang biasanya bebas PMK, pemusnahan hewan yang terinfeksi dan mereka yang berisiko
tinggi tertular mutlak dilakukan. Namun, di Indonesia, vaksinasi menjadi
pilihan utama. PMK membawa dampak yang sangat serius pada perekonomian suatu
negara terutama pada ekonomi peternak dan biaya yang harus dikeluarkan
pemerintah untuk program pencegahan dan pengendaliannya. Analysis resiko perlu
dilakukan untuk membandingkan seberapa serius ancaman PMK untuk wilayah NTT dan
untuk memastikan seberapa banyak daya upaya yang harus disiapkan sebagai
rencana contingensi PMK.
DAFTAR PUSTAKA
Alexandersen, S., Zhang, Z., Donaldson, A.I., 2002.
Aspects of the persistence of foot-and-mouth disease virus in animals—the carrier problem. Microbes
Infect. 4,
1099–1110.
Amaral Doel, C.M.F., Gloster, J., Valarcher, J.-F., 2009. Airborne transmission of foot-and-mouth disease in pigs:
Evaluation and optimisation of instrumentation and techniques. Vet. J. 179, 219–224. https://doi.org/10.1016/j.tvjl.2007.09.010
Belsham, G.J.,
Botner , A., Lohse, L., 2021. Foot-and-Mouth Disease in
Animals - Generalized Conditions, in: Merck Veterinary Manual.
Cai, C., Li, H., Edwards, J., Hawkins, C., Robertson, I.D., 2014. Meta-analysis on the efficacy
of routine vaccination against foot and mouth disease
(FMD) in China. Prev. Vet. Med. 115, 94–100. https://doi.org/10.1016/j.prevetmed.2014.03.020
Callis, J.J., Gregg, D.A., 2017.
Foot-and-mouth disease, in:
Handbook of Zoonoses.
CRC Press, pp. 453–461.
Chowdhury, S., Rahman,
M.F., Rahman, M.B., Rahman, M.M., 1993. Foot and mouth disease and its effects on morbidity,
mortality, milk yield and draft power in Bangladesh. Asian-Australas. J. Anim.
Sci. 6, 423–426.
CNN
Indonesia, 2022. Kerugian Ekonomi RI Akibat Penyakit Mulut dan Kuku Sapi Rp11,6
T. ekonomi.
Di Nardo, A., Knowles,
N.J., Paton, D.J., 2011.
Combining livestock trade patterns
with phylogenetics to help understand the spread of foot and mouth disease
in sub-Saharan Africa, the Middle East and Southeast Asia. Rev. Sci. Tech.-OIE 30, 63.
Doll,
K., 2001. [Clinical picture and differential diagnosis of foot and mouth disease in cattle. DTW Dtsch. Tierarztl.
Wochenschr. 108, 494–498.
Garner, M.G.,
Beckett, S.D., 2005. Modelling the spread of foot-and-mouth disease in Australia. Aust. Vet. J. 83, 758–766.
Gleeson, L.J., 2002. A review of the status of foot and mouth
disease in South-East Asia and approaches to control and eradication. Rev. Sci.
Tech.-Off. Int. Épizooties 21, 465–472.
Heinritzi,
K., Bollwahn, W., 2001. [Clinical signs and differential diagnosis of foot and mouth disease in pigs. DTW Dtsch. Tierarztl. Wochenschr. 108, 504–507.
Kitching, R.P., Alexandersen, S., 2002.
Clinical variation in foot and mouth disease: pigs. Rev. Sci. Tech.-Off. Int. Épizooties 21,
513–516.
Kompas, T., Che, N.T., Pham, V.H., 2010.
An optimal surveillance measure against foot and mouth disease in the United States.
HttpwwwcrawfordanueduaudegreesidecworkingpapersIDEC06-11pdf.
Malesios, C., Kostoulas, P., Dadousis, K., Demiris, N., 2017. An early warning indicator for monitoring infectious animal diseases and its application in the case of a sheep pox epidemic. Stoch. Environ. Res. Risk Assess.
31, 329–337.
McLaws, M., Ribble, C., Martin, W., Wilesmith, J., 2009. Factors associated with the early
detection of foot-and-mouth disease during the 2001 epidemic
in the United Kingdom. Can.
Vet. J. 50, 53–60.
Pal, M., 2018. Foot and mouth disease: A
highly infectious viral zoonosis of global importance. J Appl
Microbiol Biochem 2, 12.
Paton, D.J., Gubbins, S., King, D.P.,
2018. Understanding the transmission of foot-and-mouth disease virus at different
scales. Curr. Opin. Virol. 28, 85–91.
Perez, A., AlKhamis, M., Carlsson, U., Brito, B., Carrasco-Medanic, R., Whedbee, Z., Willeberg, P., 2011. Global animal disease surveillance. Spat. Spatio-Temporal Epidemiol. 2, 135–145.
Quigley, A., 2022. Foot and
Mouth Disease Outbreak in Indonesia: Summary and
Implications 4. https://doi.org/10.31646/gbio.175
Rahman, A., Dhama, K.,
Ali, Q., Raza, M.A., Chaudhry, U., Shabbir, M.Z., 2020. Foot and mouth disease
in a wide range of wild hosts:
a potential constraint in disease
control efforts worldwide particularly in disease-endemic settings. Acta Trop. 210, 105567.
Rweyemamu, M., Roeder,
P., Mackay, D., Sumption, K., Brownlie, J., Leforban, Y., Valarcher, J.-F.,
Knowles, N.J., Saraiva,
V., 2008. Epidemiological Patterns of
Foot-and-Mouth Disease Worldwide. Transbound. Emerg. Dis. 55, 57–72. https://doi.org/10.1111/j.1865-1682.2007.01013.x
Sasaki, M., 1993.
Patterns of national and international livestock movement in Southeast Asia:
implication for a regional foot-and-mouth disease control program, in: ACIAR
PROCEEDINGS. Australian Centre for International Agricultural Research, pp.
75–75.
Shanafelt, D.W.,
Perrings, C.A., 2017. Foot and mouth disease: the risks of the international trade in live animals:
-EN- -FR- Fièvre aphteuse: les risques liés aux échanges internationaux d’animaux vivants -ES- Fiebre aftosa
y riesgos del comercio internacional de animales vivos.
Rev. Sci. Tech.
OIE 36, 839–865. https://doi.org/10.20506/rst.36.3.2719
Soehadji, Malole,
M., Setyaningsih, H., 1994. The experience of Indonesia in the
control and eradication of foot-and-mouth disease. [Workshop paper],
in: ACIAR Proceedings - Australian Centre for International Agricultural
Research (Australia). Presented at the
International Workshop, Lampang (Thailand), 6 Sep 1993, Australian Centre for International Agricultural Research.
Stenfeldt, C., Pacheco, J.M., Brito, B.P., Moreno-Torres, K.I., Branan, M.A., Delgado,
A.H., Rodriguez, L.L., Arzt, J., 2016. Transmission of foot-and-mouth disease virus during the incubation
period in pigs. Front. Vet. Sci. 3, 105.
Susanti, 2022. Lesson Learned
dari Kasus Penyakit
Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia. FMIPA UNNES. URL https://mipa.unnes.ac.id/v3/2022/12/leason-learn-dari-kasus-penyakit-m
ulut-dan-kuku-pmk-di-indonesia/
(accessed 3.5.23).
Sutmoller, P., Barteling,
S.S., Olascoaga, R.C., Sumption, K.J., 2003. Control and eradication of
foot-and-mouth disease. Virus Res. 91, 101–144. https://doi.org/10.1016/S0168-1702(02)00262-9
Turner, C., Williams, S.M., Cumby, T.R., 2000. The inactivation of foot and mouth
disease, Aujeszky’s disease
and classical swine fever viruses
in pig slurry. J. Appl.
Microbiol. 89, 760–767.
Wagari,
A., 2016. Seroprevalence of Foot and Mouth Disease
in Bulls of Borana Origin
Quarantined in Adama. Int. J. Biochem. Biophys. Mol. Biol.
Winarsih, W.H., 2018. Penyakit
ternak yang perlu diwaspadai terkait
keamanan pangan. Cakrawala 12, 208–221.
Yano, T., Premashthira, S., Dejyong, T., Tangtrongsup, S., Salman, M.D.,
2018. The Effectiveness of a Foot and Mouth Disease Outbreak
Control Programme in Thailand 2008–2015: Case Studies and
Lessons Learned. Vet. Sci. 5, 101. https://doi.org/10.3390/vetsci5040101
Zainuddin, N., Susila,
E.B., Wibawa, H., Daulay, R.S.D., Wijayanti, P.E., Fitriani, D., Hidayati, D.N., Idris, S., Wadsworth, J., Polo, N., Hicks, H.M., Mioulet, V., Knowles, N.J., King, D.P., 2023. Genome Sequence of a
Foot-and-Mouth Disease Virus Detected in Indonesia in 2022. Microbiol. Resour. Announc. 0, e01081-22. https://doi.org/10.1128/mra.01081-22
How to cite:
Bulu, P.M., 2023. Epidemiologi, Penanggulangan Dan Pemberantasan Penyakit Mulut Dan Kuku (Pembelajaran dari Wabah PMK Indonesia 1887-1997). Partner, 28(1), pp.62-72.