REVIEW AFRICAN SWINE FEVER: PENULARAN, FAKTOR RESIKO DAN DAMPAK EKONOMI YANG DITIMBULKAN


Petrus Malo Bulu*

 

Program Studi Kesehatan Hewan, Jurusan Peternakan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jl. Prof. Dr. Herman Yohanes, Lasiana Kupang P.O.Box. 1152, Kupang 85011 Korespondensi: pmalobulu@yahoo.com

 

 

ABSTRACT

African swine fever or also known as African Swine Fever (ASF) is a serious viral disease in domestic pigs and wild boars and is highly contagious which causes disease in pigs, generally characterized by high fever, hemorrhages, ataxia, and severe depression. African swine fever virus is a major threat to pig production as it has mortality rates approaching 100%. By early 2018, ASF had spread throughout China, Mongolia, Korea, Vietnam, Laos, Cambodia, Myanmar, Philippines, Hong Kong, Indonesia, Timor-Leste and Papua New Guinea. The disease is spread through direct contact with infected animals or their body fluids or indirectly through contaminated vehicles, equipment or food containing meat from infected pigs. Several risk factors have contributed to the introduction and transmission of the disease into farmers/countries including biosecurity practices, animal movements, and husbandry practices. The disease has caused huge direct and indirect economic losses around the world. It currently has no specific treatment or vaccine available.

 

Key Words: African Swine Fever, Demam Babi Afrika, Babi, NTT

 

 

PENDAHULUAN

 

 

African Swine Fever Virus (ASFV) adalah patogen yang sangat menular yang menyebabkan penyakit mematikan pada babi, umumnya ditandai dengan demam berdarah yang akut. Penyakit ASF oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) termasuk dalam daftar 15 penyakit patogen pada hewan yang paling mematikan yang memiliki potensi penyebaran cepat, dan tidak ada batas negara (epidemik) (Kleiboeker, 2002). Penyakit ASF menyebabkan demam tinggi, kehilangan nafsu makan, ataksia dan depresi, serta mengakibatkan kematian yang tinggi pada kawanan babi peliharaan yang rentan (Ma et al., 2020). Penyakit ASF disebabkan oleh virus African Swine Fever dari anggota famili Asfarviridae dan genus Asf virus, ASFV adalah virus DNA untai ganda yang melibatkan kutu lunak sebagai vektor pembawa dan dengan cara langsung dan tidak langsung (Normile, 2018). Penyakit ASF menyebar ke Asia Timur dan dicatat untuk pertama kalinya di Cina pada Agustus 2018 (Mason-D’Croz et al., 2020).


Babi yang terinfeksi memperlihatkan tanda klinis berupa demam tinggi, kehilangan nafsu makan, ataksia dan depresi, mengakibatkan kematian yang tinggi pada ternak babi domestik yang rentan (Costard et al., 2013).

Virus ASF memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam ekosistem tertentu yang ditentukan oleh ekologi populasi inangnya yang liar dan karakteristik sistem produksi ternak, dan juga dipengaruhi oleh kepadatan dan hubungan spesies inang serta vector (Arzumanyan et al., 2021; Davies et al., 2017; Mazur-Panasiuk et al., 2019; Petrini et al., 2019).

Demam babi Afrika menyebabkan angka kesakitan (morbiditas) yang tinggi pada populasi babi dan dapat menyebabkan angka kematian yang sangat tinggi bisa mencapai 100 persen (Arias et al., 2017; Gallardo et al., 2015). Epidemi ASF menyebabkan konsekuensi sosial ekonomi yang menghancurkan industri babi secara global, terutama untuk negara-negara dengan produksi babi skala besar dan konsumsi daging babi termasuk Indonesia. DI Indonesia, ekonomi peternak di beberapa provinsi penghasil ternak babi mengalami pukulan hebat akibat wabah ASF termasuk di NTT sebagai salah satu provinsi dengan populasi babi terbanyak di Indonesia. Bagaimana ASF bisa masuk ke NTT dan faktor apa saja yang berkontribusi kepada masuk dan menyebarnya ASF di NTT, serta bagaimana dampak ekonomi ASF bagi masyarakat NTT, pencegahan dan pengendaliannya akan diulas pada tulisan ini.

 

 

PEMECAHAN MASALAH

 

Penularan ASF

Penularan ASF pertama kali dicatat terjadi di Kenya pada tahun 1920an ketika babi peliharaan melakukan kontak dekat dengan spesies satwa liar, khususnya babi hutan (Phacochoerus aethiopicus dan Phacochoerus africanus) (Costard et al., 2009). Sánchez-Vizcaíno et al., (2012) menjelaskan 5 skenario penularan ASF yakni pertama: penyebaran dari negara-negara Afrika Timur dan Selatan dimana penularan ASF ke babi peliharaan terutama disebabkan oleh gigitan kutu yang terinfeksi atau oleh konsumsi jaringan dari babi hutan yang terinfeksi akut; kedua: terjadi di negara-negara Afrika Barat, yang baru-baru ini terkena ASF, dimana penularan terjadi melalui kontak langsung antara babi peliharaan atau kontak tidak langsung antara babi dan produk babi, tanpa


keterlibatan kutu lunak; ketiga: di Semenanjung Iberia (1960-1995) dimana babi peliharaan dan babi hutan menderita penyakit ini, yang terutama ditularkan melalui kontak langsung antara hewan dan daging yang terinfeksi. Penularan ini melibatkan kutu lunak (O. erraticus) terhadap penularan penyakit pada kawanan babi; keempat: ketika penyakit ini masuk ke negara-negara Amerika Tengah dan Selatan pada periode 1968-1980, dimana penyakit ini hanya menyerang babi domestik, karena hewan liar (babi liar) dan kutu lunak tidak memainkan peran penting dalam epidemiologi dan penularan virus; dan scenario terakhir yakni terjadi di Rusia dan negara-negara trans-Kaukasia. Siklus epidemiologi ASF mempengaruhi babi domestik dan babi hutan, tetapi kutu tidak terlibat dan sebagian besar wabah (79,8%) mempengaruhi babi domestik dan disebabkan oleh perpindahan hewan yang terinfeksi atau pembawa dan produknya. Di Indonesia, penyebaran ASF melalui kutu lunak Ornithodorus belum dilaporkan karena jenis kutu tersebut bukan endemic Indonesia, namun demikian penyebaran penyakit tersebut oleh serangga lain melalui lalat Stomoxis calcitrans perlu diwaspadai, karena lalat jenis ini merupakan lalat yang sering ditemukan di Indonesia. Secara eksperimental telah dilaporkan bahwa kemungkinan penyebaran mekanis ASFV oleh lalat kandang (Stomoxys calcitrans) dan lalat tiup (Calliphoridae) sangat berpotensi (Yoon et al., 2021).

 

 

Dampak Ekonomi ASF

Penyakit ASF membawa dampak negatif yang luar biasa bagi sektor peternakan terutama pada industry peternakan babi dimana terjadi kerugian dari hulu ke hilir berupa pembatasan perdagangan, penurunan nilai pasar, kerawanan pangan, dampak lingkungan, dan upaya penanggulangan penyakit hewan semuanya menimbulkan biaya yang cukup besar baik sektor publik maupun swasta (Barratt et al., 2019). Penyakit ASF sebagaimana dilaporkan oleh FAO telah menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di berbagai negara termasuk kawasan Asia Tenggara. Di kawasan Asia Tenggara yakni (Thailand, Vietnam dan Phillipina) penyakit ini menyebabkan setidaknya 5 juta ekor babi harus dimusnakan karena infeksi penyakit tersebut pada populasi ternak babi dengan kerugian ekonomi ditaksir miliaran dolar. Di China, stok babi berkurang dari 320,8 juta menjadi 190,9 juta pada Agustus 2019, dimana kerugian mencapai 40,5%, sementara stok babi turun drastis dari 31,3 juta menjadi 19,0 juta, atau 39,3% (Ma et al., 2021).Di NTT, data dari Dinas Peternakan Provinsi NTT memperlihatkan


bahwa wabah ASF yang menyerang 12 kabupaten dan kota di tahun 2020 telah menyebabkan lebih dari 24 ribu babi mati pada pertengahan tahun 2020 (Bere, 2020), dengan total kerugian diperkirakan mencapai 168 miliar rupiah dengan harga rata-rata 5 juta per ekor. Data ini baru yang tercatat di tahun 2020, sementara penyakit ASF masih terus terjadi sampai tahun 2022, sehingga kerugian dipastikan semakin besar lagi, bisa mencapai triliunan rupiah per Januari 2022 dari kematian babi saja, belum termasuk kerugian tidak langsung yang diakibatkan oleh wabah ASF tersebut antara lain hambatan perdagangan babi dan produknya, penurunan nilai pasar, kerawanan pangan, dampak lingkungan, dan biaya untuk upaya menangani penyakit tersebut (Barratt et al., 2019).

 

 

Faktor Resiko

Metode biosekuriti yang diterapkan, populasi babi hutan dan transportas babi serta pergerakan hewan yang terinfeksi merupakan faktor resiko yang dicurigai dalam memfasilitasi penyebaran ASFV di seluruh Asia (Mighell and Ward, 2021).

Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, NTT khususnya Timor Barat saat ini berada berada dalam jalur lalulintas orang dan perdagangan, terutama dilihat dari tingginya pergerakan babi di daerah perbatasan dengan Timor Leste melalui perpindahan manusia dari dan ke Timor Leste dan ini memiliki resiko yang tinggi penyebaran penyakit ASF ke wilayah Timor Barat khususnya. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa pergerakan/perpindahan babi khususnya perpindahan atau pergerakan yang bersifat non formal (illegal) lebih banyak dibandingkan yang formal atau legal,sehingga kemungkinan penyebaran penyakit melalui perpindahan babi dapat diperkiraan cukup tinggi melalui rute tersebut. Oleh karena itu, langkah yang harus dilakukan yakni dengan memperketat pengawasan di daerah perbatasan terutama pada daerah yang menjadi jalan masuk baik resmi maupun tidak resmi di daerah Malaka, Belu dan Timor Tengah Utara yang merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Kerja sama kedua negara terutama dalam hal pembatasan pergerakan dan perpindahan babi melalui perpindahan orang dari ke dua Negara.

Disamping itu, buruknya manajemen pemeliharaan dan biosekuriti pada peternakan  babi  skala  kecil  di  NTT  menjadi  faktor  potensial  lainnya  yang


berkontribusi pada infeksi dan laju penyebaran ASF di wilayah ini. Salah satu jalur penyebaran ASF yang patut dipertimbangkan adalah melalui daging babi beku yang diantarpulaukan dari wilayah terinfeksi. Virus ASF dalam daging beku dapat bertahan selama 1000 hari (Mazur-Panasiuk et al., 2019; McKercher et al., 1978). Sebagaimana diketahui, daging babi beku banyak diimpor ke NTT dari Pulau Bali, sementara Pulau Bali sendiri merupakan daerah terinfeksi ASF, sehingga resiko masuk dan menyebarnya ASF dari Pulau Bali sangat berpotensi.

 

 

Pencegahan dan Pengendalian

Meskipun penyakit ASF telah diketahui hampir seabad yang lalu sejak kemunculannya di Benua Afrika tahun 1920an, namun pengendalian penyakit ini terbukti menjadi tantangan tersendiri dan belum memberikan hasil yang memuaskan, khususnya karena belum adanya vaksin yang mampu menetralisir virus tersebut.

Penrit dan Vosloo (2009) menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada vaksin untuk penyakit ini, dan karena itu pencegahannya bergantung sepenuhnya pada pencegahan kontak antara virus dan induk semang yang rentan dan untuk melakukannya perlu memahami cara virus ini ditularkan dan menyebar. Disamping itu, keberhasilan pengendalian tergantung pada penerapan langkah-langkah biosekuriti yang ketat yang menempatkan penghalang antara sumber virus dan babi untuk mencegah terjadinya infeksi. Pencegahan dan pengendalian infeksi memerlukan pemahaman yang baik tentang epidemiologi dari penyakit tersebut, sehingga tindakan yang terfokus dan terencana serta terukur dapat dilakukan dengan baik. Di seluruh dunia, belum ada vaksin untuk ASF, maka pengendalian yang diterapkan berupa karantina yang ketat dan pemusnahan babi terinfeksi (Gaudreault et al., 2020). Untuk kondisi dan situasi NTT, pencegahan dan pengendalian ASF menjadi tantangan tersendiri terutama karena wilayahnya yang terdiri dari pulau-pulau sehingga membutuhkan pemahaman dan upaya yang komprehensif dalam mencegah dan mengendalikan penyakit ini. Namun Ppenting dipahami bahwa pergerakan orang dan hewan hidup di wilayah ini untuk tujuan perdagangan dan untuk keperluan adat dan tradisi sangat tinggi, maka peran aktif karantina menjadi salah satu kunci keberhasilan pengendalian ASF di NTT. Disamping itu, peran aktif masyarakat dalam menjaga kesehatan hewannya dan praktek-praktek perdagangan dengan menghindari memasok babi


atau produknya dari wilayah tertular juga merupakan faktor yang tak kalah pentingnya dalam mencegah penularan ASF dari suatu daerah ke daerah lain.

 

PENUTUP

 

Satu-satunya langkah pengendalian yang bisa dilakukan yakni dengan karantina dan biosekuriti yang ketat, pembatasan pergerakan hewan, dan pemotongan hewan yang terkena/terpapar. Sebagaimana diketahui bahwa penyakit tersebut merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus maka tindakan pencegahan mutlak dilakukan. Tidak ada pengobatan yang tersedia untuk penyakit ini. Disamping itu, sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang efektif walaupun telah dilaporkan adanya pengembangan vaksin untuk penyakit tersebut namun belum teruji mampu untuk mengendalikan penyakit ini. Pembasmian hewan terinfeksi dan kontrol merupakan tindakan penanganan yang bisa dilakukan, sehingga berpotensi mengakibatkan kerugian yang ekstrim bagi produsen (peternakan babi).

Biosekuriti menjadi keharusan pada peternakan babi dimana lalulintas orang atau kendaraan harus diawasi ketat. Penguatan kapasitas karantina pada daerah perbatasan menjadi suatu keharusan terutama untuk early detection agar agen penyakit tersebut tidak masuk ke wilayah RI, khususnya melalui wilayah Timor Barat (Malaka, Belu, dan Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kabupaten Kupang dan Kota Kupang). Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah jangan membeli daging atau produk babi dari negara yang terjangkit penyakit ASF atau berkunjung ke peternakan babi di negara yang tertular karena manusia dapat menjadi penular yang efektif bagi penyakit ini ketika kembali ke negara asal.

Selain itu, kampanye tentang penyakit ini pada masyarakat terutama pada peternak babi sudah harus dimulai agar masyarakat khususnya peternak babi mengenalnya dan dapat melakukan upaya pencegahan dan juga penanganan bila suatu waktu penyakit tersebut masuk ke peternakannya.


DAFTAR PUSTAKA

 

Arias, M., De la Torre, A., Dixon, L., Gallardo, C., Jori, F., Laddomada, A., Martins, C., Parkhouse, R.M., Revilla, Y., Rodriguez, F., 2017. Approaches and perspectives for development of African swine fever virus vaccines. Vaccines 5, 35.

Arzumanyan, H., Hakobyan, S., Avagyan, H., Izmailyan, R., Nersisyan, N., Karalyan, Z., 2021. Possibility of long-term survival of African swine fever virus in natural conditions. Veterinary World 14, 854.

Barratt, A.S., Rich, K.M., Eze, J.I., Porphyre, T., Gunn, G.J., Stott, A.W., 2019. Framework for estimating indirect costs in animal health using time series analysis. Frontiers in veterinary science 190.

Bere, S., 2020. 24.822 Ternak Babi di NTT Mati akibat Virus ASF Halaman all - Kompas.com.

Costard, S., Mur, L., Lubroth, J., Sanchez-Vizcaino, J.M., Pfeiffer, D.U., 2013.

Epidemiology of African swine fever virus. Virus research 173, 191–197.

Costard, S., Wieland, B., De Glanville, W., Jori, F., Rowlands, R., Vosloo, W., Roger, F., Pfeiffer, D.U., Dixon, L.K., 2009. African swine fever: how can global spread be prevented? Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences 364, 2683–2696.

Davies, K., Goatley, L.C., Guinat, C., Netherton, C.L., Gubbins, S., Dixon, L.K., Reis, A.L., 2017. Survival of African swine fever virus in excretions from pigs experimentally infected with the Georgia 2007/1 isolate. Transboundary and emerging diseases 64, 425–431.

Gallardo, M.C., Reoyo, A. de la T., Fernández-Pinero, J., Iglesias, I., Muñoz, M.J., Arias, M.L., 2015. African swine fever: a global view of the current challenge. Porcine Health Management 1, 1–14.

Gaudreault, N.N., Madden, D.W., Wilson, W.C., Trujillo, J.D., Richt, J.A., 2020. African Swine Fever Virus: An Emerging DNA Arbovirus. Frontiers in Veterinary Science 7.

Kleiboeker, S.B., 2002. Swine fever: classical swine fever and African swine fever.

Veterinary Clinics: Food Animal Practice 18, 431–451.

Ma, J., Chen, H., Gao, X., Xiao, J., Wang, H., 2020. African swine fever emerging in China: Distribution characteristics and high-risk areas. Preventive veterinary medicine 175, 104861.

Ma, M., Wang, H.H., Hua, Y., Qin, F., Yang, J., 2021. African swine fever in China: Impacts, responses, and policy implications. Food Policy 102, 102065.

Mason-D’Croz, D., Bogard, J.R., Herrero, M., Robinson, S., Sulser, T.B., Wiebe, K., Willenbockel, D., Godfray, H.C.J., 2020. Modelling the global economic consequences of a major African swine fever outbreak in China. Nature Food 1, 221–228.


Mazur-Panasiuk, N., Żmudzki, J., Woźniakowski, G., 2019. African swine fever virus–persistence in different environmental conditions and the possibility of its indirect transmission. Journal of Veterinary Research 63, 303.

McKercher, P.D., Hess, W.R., Hamdy, F., 1978. Residual viruses in pork products. Applied               and                           Environmental                           Microbiology                                 35,                           142–145. https://doi.org/10.1128/aem.35.1.142-145.1978

Mighell, E., Ward, M.P., 2021. African Swine Fever spread across Asia, 2018–2019. Transboundary      and                                           Emerging                            Diseases                                           68,            2722–2732. https://doi.org/10.1111/tbed.14039

Normile, D., 2018. Arrival of deadly pig disease could spell disaster for China.

American Association for the Advancement of Science.

Penrith, M.-L., Vosloo, W., 2009. Review of African swine fever: transmission, spread and control. Journal of the South African Veterinary Association 80, 58–62.

Petrini, S., Feliziani, F., Casciari, C., Giammarioli, M., Torresi, C., De Mia, G.M., 2019. Survival of African swine fever virus (ASFV) in various traditional Italian dry-cured meat products. Preventive Veterinary Medicine 162, 126–130.

Sánchez-Vizcaíno, J.M., Mur, L., Martínez-López, B., 2012. African swine fever: an epidemiological update. Transboundary and emerging diseases 59, 27–35.

Yoon, H., Hong, S.-K., Lee, I., Choi, D.-S., Lee, J.-H., Lee, E., Wee, S.-H., 2021.

Arthropods as potential vectors of African swine fever virus outbreaks in pig farms in the Republic of Korea. Veterinary Medicine and Science 7, 1841–1844. https://doi.org/10.1002/vms3.545


Link to original full paper


How to cite:

Bulu, P.M., 2022. Review African Swine Fever: Penularan, Faktor Resiko Dan Dampak Ekonomi Yang Ditimbulkan. Partner27(1), pp.1828-1835.

Share this