Opportunities And Chalanges
Of Pig Production In East
Nusa Teggara Province
Petrus Malo Bulu
Staf Pengajar Pada Program Studi Kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang
ABSTRAK
Ternak babi merupakan salah satu ternak
yang memiliki nilai ekonomi dan social budaya pada masyarakat di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, dimana mereka memainkan peran penting dalam peningkatan taraf
hidup dan ekonomi masyarakat di Nusa Tenggara
Timur (NTT). Selain itu babi berperan penting
dalam acara-acara keagamaan, adat-istiadat dan kegiatan sosial lainnyadi masyarakat serta
merupakan sumber protein penting untuk konsumsi lokal di NTT. Potensi dan
peluang pengembangan ternak babi di NTT masih sangat besar melihat fakta bahwa
konsumsi daging di NTT yang cukup tinggi dan babi merupakan ternak yang paling banyak diternakan di Provinsi NTT dimana 85% masyarakat
NTT memelihara ternak babi. Disamping itu, menjamurnya rumah
makan berbahan daging babi terutama Se’i (daging yang
dimasak dengan cara pengasapan) menyebabkan permintaan daging babi di NTT
khususnya Kota Kupang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Namun demikian pengembangan ternak babi
menghadapi tantangan yang cukup besar selain karena cara pemeliharaannya yang
sebagian masih tradisional, juga
akibat penyakit hewan menular yang telah menyebabkan kematian pada hewan yang
sangat tinggi di wilayah ini. Beberapa penyakit menular telah menyebabkan
kematian ternak babi termasuk
penyakit Classical Swine Fever (CSF) dan African Swine Fever (ASF) merupakan
dua penyakit virus yang telah ada dan menyebar di wilayah Provinsi NTT.
Penyakit CSF sendiri telah masuk ke NTT sejak tahun 1998, sedang ASF masuk ke NTT secara resmi pada tahun
2020. Pengembangan Ternak babi di NTT sangat tergantung pada manajemen
kesehatan yang baik dan benar khususnya pencegahan, pengendalian dan
pemberantasan penyakit hewan menular.
Kata Kunci: Tantangan dan Peluang, Pengembangan Ternak Babi,
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
ABSTRACT
Pigs are one of the animals that have economic and
socio-cultural values in the community in East Nusa Tenggara
Province, where they play an important role in improving the standard of living and
economic conditions in East Nusa Tenggara (NTT). In addition, pigs play an
important role in religious events, customs and other social activities in the
community and are an important source of protein for local consumption in NTT.
The potential and opportunities for developing pigs in NTT are still very large
due to the fact that meat consumption in NTT is quite high and pigs are the
most type of animal being raised in NTT Province where
85% of people in NTT raise pigs.
In addition, the rapid grow of
pork-based restaurants, especially Se'i (smoked pork),
has caused the demand for pork
in NTT especially in Kupang City to be quite high in recent years. However, the production
of pigs faces considerable challenges including traditional raising method and
infectious diseases which have caused very high mortality in the region.
Several infectious diseases have caused the death of pigs
including Classical Swine Fever (CSF) and African Swine Fever (ASF) are two
viral diseases that have spread in the NTT Province. CSF itself has entered NTT since 1998, while ASF officially entered
NTT in 2020. The development of pig
production
in NTT is very dependent on good health management, especially prevention,
control and eradication of infectious animal diseases.
KeyWords: Opportunities and Challenges, Pig Production, East Nusa Tenggara
1. Latar Belakang
Babi merupakan
salah satu ternak monogastrik yang sangat popular di Indonesia terutama
pada daerah-daerah yang mayoritas penduduknya memeluk agama bukan Islam termasuk Nusa Tenggara Timur, Sumatera
Utara dan Bali. Ternak babi adalah jenis ternak yang paling penting bagi petani
kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT). Babi secara tradisional memainkan
peran penting dalam kegiatan agama dan sosial dan
kegiatan masyarakat lainnya serta merupakan sumber protein penting untuk
konsumsi lokal di NTT
(Johns et al., 2009; Bulu et al., 2015). Disamping itu, secara finansial babi
adalah sumber akumulasi kekayaan (bertindak sebagai bank) dan sebagai cadangan tunai untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga saat ini dan masa yang akan datang terutama
pada saat ada kebutuhan
mendadak (anggota keluarga dan kerabat sakit atau meninggal dunia) dan
kebutuhan anak sekolah. Oleh karena itu, kehilangan babi akibat CSF atau ASF bisa secara langsung berkonsekuensi
buruk bagi ekonomi untuk masing-masing petani peternak (Bulu et al., 2015).
2. Peluang
2.1 Populasi Ternak
Babi di Indonesia
Babi merupakan
salah satu hewan ternak yang banyak dipelihara oleh masyarakat di Nusa Tenggara Timur dengan jumlah
populasi 2.141.246 ekor di tahun 2018
(BPS NTT, 2020-https://ntt.bps.go.id/linkTableDinamis/view/ id/191,diakses 1
Maret 2020). Populasi ini merupakan populasi ternak babi terbesar pertama
di Indonesia (25%)
dari total populasi
nasional, diikuti Sumatera Utara pada urutan kedua sebesar
1,228,951 pada tahun 2018 (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
2018). Hal ini bisa dipahami karena berdasarkan kepemilikan, sebanyak 85% keluarga
di NTT memiliki ternak
babi, sedangkan hanya 10% yang memelihara ternak sapi dan 5% memilihara ternak
lainnya (Johns et al., 2009). Disamping itu, produksi daging terbesar
disumbangkan oleh ternak babi dibandingkan hewan lain di NTT, seperti yang
dijelaskan oleh Kepala
Dinas Peternakan Provinsi
NTT yang dikutip
Antara News (27 Agustus 2018) bahwa rata-rata produksi
daging babi setiap bulan mencapai 2.788.723 kg dengan konsumsi daging babi di
NTT terbanyak yakni 50 persen, disusul unggas 25 persen, daging sapi 18 persen,
kambing dua persen, kerbau dua persen dan kuda serta domba masing-masing satu
persen. Badan Pusat Statistik NTT mencatat produksi daging babi untuk seluruh
Kabupaten di NTT sebesar 34.414.053 kg pada tahun
2018 (BPS NTT, 2019). Produksi
daging babi NTT memberikan sumbangan sebesar 17% produksi daging babi nasional
yakni 38.290,69 ton pada tahun 2019 (BPS, 2020-Sumber data Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan). Produksi daging babi
tersebut mengikuti peningkatan konsumsi dan kebutuhan daging babi di NTT yang
terus terus meningkat. Sebagai contoh, Kebutuhan daging se'i (daging babi yang
diproses dengan cara
pengasapan) di Kota Kupang bisa
mencapai 2,5 ton per hari
atau
setara dengan 500 ekor babi per hari(Beritasatu.com, Edisi
19 Maret 2019). Dengan demikian, ternak babi merupakan salah
satu komoditas peternakan yang berpotensi dikembangkan untuk mendukung pemenuhan
kebutuhan protein hewani di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
3. Tantangan dan Permasalahan
Tantangan terbesar
bisnis ternak babi di NTT mencakup breeding stock dimana masih jarang atau belum ada breeding
stock yang bisa mensuplai bibit
atau bakalan unggul. Disamping itu, harga pakan yang mahal masih menjadi beban
tersendiri bagi peternak karena harus membeli pakan yang diimpor dari luar NTT
sehingga harga pakan yang dibeli peternak di NTT cukup mahal. Selain itu,
pemotongan babi di NTT belum terorganisasi atau bahkan dilakukan sebagian besar
di belakang rumah penduduk karena belum tersedia rumah potong hewan (RPH) atau
belum difungsikannya RPH secara baik. Sementara itu, cara pemeliharaan babi dan penyakit
hewan menular menjadi
faktor penentu lainnya bagi keberhasilan peternakan dan bisnis babi di NTT. Kedua hal ini yang menjadi fokus diskusi pada tulisan
ini.
3.1
Cara Pemeliharaan Ternak Babi di
NTT
Namun demikian, walaupun populasi ternak
babi merupakan yang tertinggi
secara nasional, produksi ternak babi di NTT dinilai sangat rendah dan belum
berdampak secara signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga di NTT dimana
produktivitas ternak babi di NTT berkisar antara 0.1-0,3 kilogram (kg) per hari yang semestinya mencapai 1 kg per hari untuk pertumbuhan setiap ekor babi
unggul seperti dijelaskan Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT (Berita
Satu.com, 21 Agustus 2018). Hal ini disebabkan karena cara pemeliharaan babi di NTT sebagian besar (99%) masih tradisional (Bulu et
al., 2015). Ada dua jenis skala
pemeliharaan ternak babi di NTT yaitu ternak babi komersial dan ternak babi skala rumah tangga. Ternak babi komersial
hanya ada dalam jumlah
terbatas dengan jumlah babi yang terlibat tetapi juga dengan menggunakan pakan komersial, sistem pemberian air minum otomatis, dan kandang yang bisa
dibersihkan. Sebagian besar peternakan ini juga memiliki catatan pada masing-
masing hewan dan menggunakan teknik inseminasi buatan(Johns et al., 2009).
3.2
Penyakit
Hewan Menular
Tantangan terbesar
pengembangan ternak babi di NTT adalah penyakit hewan menular. Ada banyak
penyakit yang bisa menyerang ternak babi baik karena parasit, jamur, bakteri
maupun virus. Namun pada tulisan ini penulis hanya membahas 2 penyakit penting
yang sangat berdampak secara ekonomi pada peternak yakni Classsica
Swine Fever dan African
Swine Fever. Kedua penyakit ini memiliki daya perusak yang sangat tinggi
pada ternak babi dan tentu saja merusak ekonomi peternak babi
itu sendiri. Selain itu, kedua penyakit ini menyebabkan penurunan populasi ternak babi yang sangat drastis karena tingkat
fatalitasnya (fatality rate) yang sangat
tinggi yaitu 90-100%(Gallardo et al., 2017).
3.2.1 Classical Swine
Fever (CSF)
3.2.1.1 Penyebab dan Penyebaran
Classical Swine Fever (CSF) atau yang dikenal juga dengan
Hog Cholera babi merupakan suatu penyakit virus yang sangat
menular dan berdampak serius baik pada ternak babi maupun babi liar. Cholera
babi disebabkan oleh virus RNA beruntai tunggal dari genus pestivirus
(Paton and Greiser-Wilke, 2003;
Moennig and Greiser-Wilke, 2008). Wabah CSF dilaporkan di Dili, Timor Timur pada Agustus 1997 (ketika itu masih bagian dari Indonesia) dan kemudian menyebar ke Kabupaten Kupang pada bulan Maret 1998 (Satya et al. 2009) dan
selanjutnya penyakit tersebut telah dilaporkan di semua kabupaten di Pulau Timor (Santhia et al., 1998). Pada tahun 2013, penyakit
tersebut telah masuk ke Pulau Lembata melalui import babi hidup
dari Kupang, dimana penulis turun langsung ke
wilayah itu untuk pemeriksaan serologi
dan patologi. Saat ini penyakit
tersebut telah menular di semua kabupaten di daratan Flores.
3.2.1.2 Dampak EkonomiCSF
Dampak ekonomi
langsung terbesar CSF adalah melalui penurunan produksi. Morbiditas
dan mortalitas secara langsung berdampak pada pendapatan
petani dan juga dapat mempengaruhi pemasaran daging babi dan harganya
(Rendleman and Spinelli, 1999). Dampak ekonomi penyakit tergantung pada
strategi respons yang diadopsi oleh petani dan kemungkinan dampak pasar. Dampaknya dapat dikurangi jika sumber pendapatan
petani didiversifikasi atau jika ada peluang lain untuk menghasilkan pendapatan (Le Gall, 2009). Penyakit
CSF dapat mempengaruhi seluruh
perekonomian nasional ketika
wabah serius terjadi. Misalnya, wabah CSF di Belanda pada 1997-1998 menyebabkan kematian atau
pembantaian sekitar 12 juta babi sebagai bagian dari kampanye
pemberantasan penyakit tersebut. Biaya yang dikeluarkan karena wabah ini
diperkirakan US $ 2,5-3 miliar, setengahnya adalah uang rakyat
dan setengahnya dibagi
rata antara petani dan pelaku bisnis
lain dalam rantai
produksi ternak (FAO,
2002). Dampak epidemi tersebut
sangat parah sehingga Pemerintah Belanda menyetujui rencana
restrukturisasi babi nasional
yang menghasilkan pengurangan jumlah ternak babi nasional sekitar 25% dalam dua tahun
(FAO, 2002).
Di Indonesia,
diperkirakan 300.000 hingga 400.000 kematian babi dari total populasi sekitar
satu juta babi dilaporkan untuk Bali sendiri ketika penyakit ini pertama kali
masuk ke Bali pada Oktober 1995. Selain itu, populasi babi diperkirakan telah
menurun sebesar 45% dan 23% masing-masing di Kabupaten
Kupang dan Belu di Timor Barat (Christie dan Christie, 2007). Di kabupaten-
kabupaten ini hingga 80% kematian dilaporkan dalam beberapa kelompok (Christie
dan Christie, 2007; Hutabarat dan Santhia, 1999). Disamping itu, Penyakit ini dapat mengakibatkan larangan ekspor produk dan selanjutnya dapat berdampak pada harga pasar babi dan produknya
(Bech-Nielsen et al., 1993). Dampak ekonomi dari strategi kontrol saat ini
terutama terkait dengan langkah- langkah transportasi yang tersendak (45% dari
semua biaya). Dari tiga strategi kontrol di daerah bebas (mendeteksi dan
memberantas ternak yang terkena dampak; strategi yang tidak didasarkan pada
vaksinasi; dan vaksinasi darurat), tidak mengadopsi vaksinasi memiliki potensi
untuk meminimalkan biaya untuk
mengendalikan penyakit
(Saatkamp et al., 2000).
3.2.1.3 Strategi Penanganan Penanganan penyakit Hog cholera
Demam Babi Klasik diklasifikasikan sebagai penyakit yang dapat dilaporkan di sebagian besar negara. Strategi untuk pencegahan, pengendalian dan/atau pemberantasan penyakit pada babi domestik berbeda antar negara dan dapat diringkas sebagai berikut (Edwards et al., 2000):
1. Di negara-negara yang sebelumnya bebas dari CSF, kebijakan non- vaksinasi, dikombinasikan dengan pemberantasan total. Pengawasan serologis dilakukan pada populasi babi peliharaan. Sistem pengawasan dan jumlah sampel yang dikumpulkan tergantung pada prevalensi CSF, populasi babi hutan, dan situasi epidemiologis negara-negara tetangga.
2. Di negara-negara di mana penyakit ini endemik, pengendalian umumnya didasarkan pada vaksinasi. Di beberapa negara, keputusan untuk menggunakan vaksinasi tergantung pada kepemilikan atau pada ukuran peternakan. Program vaksinasi dapat bervariasi seperti halnya jenis vaksin yang digunakan di berbagai negara. Di beberapa negara (misalnya Rusia), disarankan untuk memvaksinasi anak babi berusia 3 minggu, sedangkan di negara lain (misalnya Bulgaria dan Rumania) babi tidak divaksinasi sampai usia 10-12 minggu.
3. Harus ada undang-undang yang melarang impor babi dari negara yang terinfeksi.
4. Tindakan karantina dan pembatasan pergerakan babi harus dilakukan di negara-negara yang terinfeksi untuk mengendalikan penyebaran penyakit.
5. Tindakan pencegahan lain termasuk pemusnahan kawanan ternak yang terinfeksi (ini masih dalam perdebatan di Indonesia karena ketidaksanggupan pemerintah mensubsidi peternak yang terdampak), dan penetapan perlindungan (sekitar 3 km radius) dan zona pengawasan (sekitar 10 km) di sekitar peternakan yang terinfeksi untuk mengendalikan penyebaran penyakit.
6.
Swill feeding (pemberian makanan
sisa dapur dan restoran) perlu
diatur. Sehubungan dengan sanitasi, OIE menyarankan strategi berikut:
1.
Komunikasi yang
efektif antara otoritas veteriner, praktisi veteriner, dan peternak babi harus
dilakukan.
2.
Sistem pelaporan
penyakit harus efektif dan kebijakan untuk impor babi hidup, dan daging babi segar dan sembuh harus
diterapkan dengan ketat.
3. Babi harus dikarantina sebelum dimasukkan ke dalam kawanan.
4. Makanan sisa atau sisa harus dilarang untuk diberikan kepada babi atau jika diberi makan itu harusdisterilkan dengan benar.
5.
Surveilans serologis
terstruktur harus dilakukan
yang ditargetkan pada pembibitan babi dan babi hutan.
6.
Sistem identifikasi dan pencatatan babi yang tepat harus diterapkan.
Di daerah di mana
CSF endemik direkomendasikan vaksinasi dengan strain virus hidup yang dimodifikasi (Suradhat
et al., 2007; van Oirschot, 2003). Sebaliknya di
negara-negara yang bebas dari penyakit, atau di mana pemberantasan sedang berlangsung, vaksinasi
biasanya dilarang (van Oirschot,
2003). Untuk memberantas CSF dari
populasi babi, penularannya perlu dikurangi sedemikian rupa sehingga virus
tidak dapat mempertahankan dirinya dalam populasi. Ini mungkin diperoleh
dengan langkah-langkah kontrol
termasuk menyembelih ternak yang terinfeksi, memusnahkan ternak yang
berisiko, vaksinasi, meningkatkan tindakan kebersihan dan pembatasan pergerakan
(Moennig, 2000).
Langkah-langkah
pengendalian yang paling penting adalah pemusnahan ternak yang terinfeksi,
larangan transportasi, pelacakan dan pengujian kontak infeksi, dan penerapan
tindakan higienis dan pengawasan di daerah yang terkena
dampak (Klinkenberg et al., 2003). Di daerah dengan tingkat endemisitas
tinggi, vaksinasi rutin adalah cara yang paling umum digunakan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit (Suradhat et
al., 2007). Vaksinasi mengatasi beberapa dilema etis yang timbul dari pemusnahan babi dalam skala besar selama wabah
(Klinkenberg et al., 2003). Selain itu, CSF dapat dikendalikan secara efektif
dengan vaksinasi dengan vaksin strain C hidup (Kortekaas et al., 2010), dan
babi dapat dilindungi dari infeksi selama setidaknya 10 bulan setelah vaksinasi
oral dengan vaksin virus hidup 'strain C' (Kaden and Lange, 2001). Sistem
pengawasan yang efisien harus menjadi bagian integral dari strategi kontrol apa pun (Moennig, 2000).Vaksinasi oral
babi hutan dapat berkontribusi untuk menurunkan insiden CSF, dan akibatnya
mengurangi ancaman masuknya virus ke ternak domestik, namun penelitian tentang
populasi babi hutan di Indonesia belum banyak dilakukan, dan ini berpengaruh pada efektifitas pengendalian yang dilakukan. Negara-negara bebas penyakit seharusnya tidak melakukan vaksinasi.
3.2.2 African Swine
Fever (ASF)
3.223.2.2.1 Penyebab dan penyebaran
African Swine Fever
(ASF)
adalah penyakit pendarahan babi yang sangat menular, yang disebabkan oleh
virus Swine Fever Afrika (ASFV), sebuah
virus DNA beruntai ganda yang terbungkus dari Asfarviridae, genus Asfivirus (de Carvalho
Ferreira et al., 2012).
Penyakit ASF bukan merupakan penyakit zoonosis (tidak
dapat ditularkan dari hewan ke manusia),
dengan demikian tidak mempunyai dampak kesehatan
pada manusia. Penyakit tersebut hanya menginfeksi babi dan menjadi penyakit
yang sangat penting secara ekonomi
karena dapat menyebabkan kerugian yang sangat
signifikan pada peternakan babi yang tertular atau terinfeksi.
Virus secara konsisten terdapat di tenggorokan babi yang tertular hingga 70 hari (de Carvalho
Ferreira et al., 2012). Para peneliti ini melaporkan bahwa virus
kadang-kadang terdapat di feses babi dengan titer yang sangat tinggi dan DNA
virus juga bertahan dalam darah hingga 70 hari. Disamping itu, sebagian besar
hewan yang terinfeksi secara terus-menerus melepaskan virus ke lingkungan
selama setidaknya 70 hari, dan ini menjadi resiko yang harus dipertimbangkan
dalam melihat kemungkinan risiko penularan penyakit tersebut. Sebagai tambahan
informasi, bahwa penyakit tersebut dapat ditularkan salah satunya melalui
kontak langsung dengan babi yang terinfeksi.
Penyakit Demam Afrika memiliki tanda klinis yang mirip dengan penyakit
Hog cholera (Classical Swine Fever-CSF) antara
lain demam tinggi
(40.5°C-
42°C), kematian mendadak pada babi
yang terinfeksi, hilangnya nafsu makan secara
tiba-tiba, muntah, perdarahan pada kulit dan organ dalam,
diare berdarah, keguguran dan
kematian pada anak baru lahir, mata merah, batuk berdarah, hidung berlendir,
serta lemas dan gangguan keseimbangan alat gerak.
Di Indonesia,
penyakit ASF telah dinyatakan positif di 3 Provinsi yaitu Sumatera Utara, Bali
dan NTT. Di NTT, penyakit ini terkonfirmasi secara laboratorium positif melalui
sampel yang diambil di Kabupaten Belu. Namun demikian, semua Kabupaten dan Kota
di Daratan Timor telah melaporkan kematian babi dalam jumlah yang tidak wajar
dari bulan November 2019.
Di NTT, penyakit
Demam Babi Afrika telah dinyatakan secara resmi oleh pemerintah Provinsi
NTT bahwa hasil pemeriksaan sampel dari Kabupaten
Belu positif terhadap ASF. Sebelum hasil ini dirilis oleh pemerintah,
penulis telah mendapatkan banyak informasi dari keluarga dan kerabat di Malaka
dan Belu terkait kematian Babi dalam jumlah
yang tidak wajar
di kedua kabupaten tersebut mulai bulan November 2019. Penyakit ASF diduga masuk dari Negara tetangga
Timor Leste yang telah lebih
dahulu deklarasi positif
pada bulan September
2019.
3.2. 3.2.2.2 Cara Penularan Penyakit
ASF
Perlu diketahui
bahwa Virus ASF dapat ditularkan dengan tiga siklus penularan utama yakni
siklus sylvatic, siklus caplak babi, dan siklus domestik (Guinat et al., 2016).
Siklus sylvatic mengacu pada sirkulasi antara populasi babi liar Afrika dan kutu lunak. Siklus ini dapat dilihat di negara-negara Afrika
di mana ASF dan kutu atau caplak dari genus Ornithodoros bersifat endemik. Siklus
kutu- babi terjadi di Afrika dan memainkan peran penting dalam penularan
penyakit ini di Semenanjung Iberia,
tempat kutu menginfeksi kandang dan kandang babi. Dalam siklus domestik, penularan
langsung atau tidak langsung terjadi
antar babi domestik atau babi yang dikandangkan. Hal yang sama berlaku untuk
penularan di antara babi hutan untuk siklus sylvatic di Eropa Timur. Disamping itu, kontak langsung
antara hewan yang terjangkit penyakit dan hewan rentan adalah rute penularan
yang sangat efektif, tetapi hal ini masih tergantung pada keganasan virus (virulensi) (Olesen et al., 2017). Sedangkan penularan tidak langsung
dapat terjadi melalui orang, kendaraan, dan, memberi makan produk daging
yang terkontaminasi, benda yang terkontaminasi oleh zat yang mengandung virus
seperti darah, feses, urin atau air liur dari babi yang terinfeksi, atau pakan
untuk babi hutan atau babi piaraan juga diasumsikan memainkan peran yang cukup
besar dalam penyebaran penyakit tersebut.
3.2 3.2.2.3 Dampak Ekonomi dan Sosial ASF
Akibat ASF ini, kerugian berdampak secara
langsung dan tidak langsung dari hulu ke hilir dalam industri peternakan termasuk pembibitan, pakan, produksi
daging olahan, dan lain-lain. Sebagaimana dilaporkan oleh FAO, penyakit ini
telah menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di beberapa Negara di Kawasan
Asia Tenggara (Thailand, Vietnam dan Phillipina) yakni
lebih dari 5 juta ekor babi
yang harus dimusnakan karena infeksi penyakit tersebut pada populasi ternak
babi dengan kerugian ekonomi ditaksir Miliaran Dolar. Sebagai akibat wabah ASF di Polandia, Lithuania, Latvia dan Estonia
pada tahun 2014
dan 2015 nilai ekspor daging babi dan
produk daging babi berkurang hingga US
$961 juta, mewakili hingga 50% dari ekspor. Dengan masuknya ASFV ke Denmark
dapat mengakibatkan kerugian US $12 juta untuk biaya langsung dan US $349 juta
untuk ekspor. Di Rusia, ASF
diperkirakan menelan biaya US $267 juta pada tahun 2011. Lebih lanjut,
penyebaran ASF ke Cina dapat memiliki konsekuensi yang lebih berbahaya, karena China memiliki populasi babi lebih dari setengah populasi
babi dunia. Di Indonesia, belum ada penghitungan yang resmi jumlah kerugian
akibat ASF, namun kerugian akibat
ASF bisa mencapai
triliunan rupiah karena bisnis tersebut merupakan bisnis yang sangat
besar berdampak dari hulu ke hilir, mulai
dari sarana prasarana produksi ternak (Sapronak) ternak babi sampai rumah-rumah makan dan restoran penyedia
daging babi. Di NTT khususnya Timor Barat, jumlah kematian babi belum dihitung namun diperkirakan
sekitar belasan ribu di awal Februari 2020 dengan total kerugian akibat kematian
saja diperkirakan sebesar Rp 30,000,000,000,- (30 miliar).
Disamping itu
dampak sosial dari ASF ini akan sangat besar di NTT karena ternak babi memiliki
peran yang sangat besar dalam kegiatan-kegiatan adat-istiadat dan keagamaan
serta kemungkinan hilangnya atau berkurangnya lapangan kerja dari industri
ternak babi ini.
Dampak Ekonomi dan Sosial Penyakit ASF dapat diringkas sebagai berikut:
1. Kerugian yang disebabkan oleh ASF termasuk kematian, yang bisa sangat tinggi, dan hilangnya pendapatan dari penurunan produksi daging dan hilangnya pasar ekspor.
2. Wabah yang tidak terkendali akan mengakibatkan kerugian besar dan pengangguran di tingkat pertanian, pengelola produk daging babi dan ritel.
3. Harga produk dari hewan lain mungkin naik sebagai akibat meningkatnya permintaan.
4. Namun, jika pemberantasan dapat dilakukan dengan cepat dan efektif, mungkin tidak ada kerusakan abadi pada industri babi, asalkan industri tersebut dapat memulihkan pangsa pasarnya.
5. Penyakit ini dapat menyebar dengan cepat ke seluruh industri babi dan populasi babi liar.
6. Setelah wabah awal, penyakit ini bisa menjadi semakin meluas dan mahal; namun, kehilangan produksi pada babi yang terinfeksi akan berkurang ketika penyakit berpindah dari fase akut ke fase kronis (dengan episode akut yang berulang).
7.
Produsen yang babinya
terhindar dari infeksi mungkin menaikan harga. Atau, mereka mungkin tidak
mendapat manfaat dari wabah ini dari produsen lain;
8. Konsumsi daging babi akan turun drastis selama wabah, meskipun ada jaminan bahwa daging itu aman untuk dikonsumsi manusia.
9. Perkiraan kerugian di atas hanya baru mencakup nilai produk di hulu, dan belum termasuk kerugian di industri pemrosesan tambahan, pemasaran, dan transportasi.
10. Perdagangan ekspor babi dan produk babi hampir pasti berhenti karena babi terinfeksi ASF.
11. Hilangnya pasar ekspor akan mengakibatkan kelebihan pasokan domestik
yang besar, yang dengan cepat akan menyebabkan jatuhnya harga.
12.
Kehilangan pendapatan sangat besar yang berkepanjangan bagi produsen yang ternaknya dimusnahkan atau hancur
dan dikenai kontrol karantina sebagai akibat dari berkurangnya peluang pasar
dan perubahan praktik manajemen.
13. Strategi pemusnahan menyebabkan penghancuran beberapa ternak yang penting secara genetis
14. Efek sosial, selain yang terkait dengan ekonomi dan masyarakat adat, sangat besar.
3.2.2.4 Strategi Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit ASF
Badan Kesehatan
Hewan Dunia (OIE, 2018) menyarankan beberapa langkah strategis pencegahan
penyakit ASF antara lain:
1. Pencegahan di negara-negara yang bebas dari penyakit tergantung pada penerapan kebijakan impor yang tepat dan langkah-langkah biosekuriti dengan memastikan bahwa tidak ada babi yang hidup maupun produk babi yang masuk ke dalam wilayah yang bebas ASF. Ini termasuk memastikan pembuangan limbah makanan yang benar dari pesawat terbang, kapal atau kendaraan yang berasal dari negara-negara yang terkena dampak dan mengawasi impor ilegal babi hidup dan produk babi dari negara- negara yang terkena dampak.
2. Langkah-langkah sanitasi klasik dapat digunakan termasuk deteksi dini dan pemusnahan babi dengan cara yang manusiawi (dengan pembuangan karkas dan limbah yang tepat); pembersihan dan disinfeksi menyeluruh; zonasi/kompartementalisasi dan kontrol gerakan; pengawasan dan investigasi epidemiologis terperinci; langkah-langkah biosekuriti yang ketat di peternakan-peternakan babi.
3. Seperti yang diamati di Eropa dan di beberapa wilayah Asia, penyebaran ASF sangat tergantung pada kepadatan populasi babi hutan dan interaksinya dengan sistem produksi babi dengan biosekuriti yang rendah. Pengetahuan dan manajemen populasi babi hutan yang baik dan koordinasi yang baik antara Dinas Peternakan/Pertanian, satwa liar dan otoritas kehutanan diperlukan untuk berhasil mencegah dan mengendalikan ASF.
4. Bergantung pada situasi epidemiologis, keterlibatan vektor kutu lunak juga harus dipertimbangkan dalam program kontrol.
3.2. 3.2.2.5 Pengendalian dan Pemberantasan
Keberhasilan
pemberantasan ASF di Spanyol telah dikaitkan dengan penyaringan dan penghapusan
babi yang terinfeksi secara terus-menerus (Arias
and Sanchez-Vizcaino, 2002). Australian Veterinary Emergency
Plan (Animal Health
Australia, 2016) menjelaskan dan menyarankan beberapa
prinsip pengendalian dan pemberantasan ASF antara lain:
1. Pengenalan awal dan konfirmasi laboratorium kasus yang dilaporkan.
2. Studi epidemiologi untuk menetapkan peran potensial vektor dalam transmisiASF
3. Kontrol pergerakan babi, produk babi dan barang-barang lain yang berpotensi terkontaminasi diwilayah yang dideklarasikan, untuk meminimalkan penyebaran infeksi. Dalam pelaksanaannya, terutama di NTT pemerintah belum memiliki panduan dan aturan yang tetap dan tepat terkait pelarangan keluar-masuk (ekspor-impor) ternak babi terutama terkait perdagangan ternak di babi di wilayah tertular, terancam dan bebas. Pada kasus ASF misalnya, pemerintah melarang semua bentuk pergerakan babi di semua wilayah NTT tanpa merinci pada daerah mana yang boleh dan mana yang dilarang terkait pelarangan terutama yang berkaitan dengan kegiatan jual beli ternak, dan hal ini berdampak pada kegiatan ekonomi peternak babi. Pada Tabel 1 penulis sajikan sebuah panduan/rekomendasi pengendalian pergerakan ternak babi hidup pada wilayah tertular, terancam dan bebas.
Tabel 1. Rekomendasi Pengendalian Pergerakan Babi Hidup.
4.
Penelusuran dan
pengawasan (berdasarkan penilaian epidemiologis) untuk menentukan sumbernya dan
tingkat infeksi (termasuk, bila perlu, pada babi liar), dan selanjutnya untuk menyediakan bukti kebebasan dari penyakit.
5. Pemusnahan semua babi di tempat yang terinfeksi bila dimungkinkan (di Indonesia dan NTT khususnya hal ini masih terkendala sampai saat ini)
6. Pembuangan babi yang dimusnahkan dan dekontaminasi kandang atau peternakan.
7. Pemusnahan dan pembuangan produk-produk babi yang kemungkinan terkontaminasi, untuk mengurangi sumber infeksi.
8. Dekontaminasi fomites (fasilitas, peralatan dan barang-barang lainnya) untuk menghilangkan pathogen dengan mengikuti standar prosedur yang benar.
9.
Disinsektisasi
(pemusnahan kutu) di kandang atau peternakan untuk menghilangkan vektor
arthropoda yang potensial dengan mengikuti prosedur standar yang baik dan
benar.
10. Mengintensifkan strategi kontrol untuk babi liar untuk menghilangkan reservoir potensial pada daerah terbatas.
11. Lakukan Zonasi/kompartementalisasi untuk mendefinisikan wilayah dan
bangunan yang terinfeksi dan bebas penyakit
12. Butuh dukungan industri untuk meningkatkan pemahaman tentang masalah, memfasilitasi kerja sama danmengatasi masalah kesejahteraan hewan
13. Kampanye kesadaran publik.
4. Kesimpulan
Ternak babi merupakan salah satu ternak yang memiliki
arti penting dalam kehidupan masyarakat NTT, dimana
babi berperan penting selain sebagai sumber pendapatan keluarga juga sebagai komoditas yang sangat penting dalam kegiatan-kegiatan
adat-istiadat dan keagamaan.
Populasi ternak
babi merupakan yang terbesar di Indonesia, namun pada saat yang sama belum secara signifikan
berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat khususnya petani karena berbagai
faktor termasuk cara pemeliharaannya yang masih tradisional sehingga
produktifitasnya rendah juga karena serangan penyakit hewan menular.
Strategi
pengembangan ternak babi di NTT harus diperbaiki untuk 2 hal pokok yaitu
manajemen pemeliharaan dan manajemen kesehatan (vaksinasi, biosekuritas,
pengendalian pergerakan babi pada saat wabah penyakit hewan menular dengan
regulasi yang ketat dan tegas, sanitasi dan desinfeksi kandang yang teratur
oleh petani).
DAFTAR
PUSTAKA
Animal Health Australia. 2016. Disease strategy: African swine fever (Version 4.1).
Australian Veterinary Emergency Plan (AUSVETPLAN), Edition 4, National
Biosecurity Committee, Canberra, ACT.
Arias,
M., Sanchez-Vizcaino, J. M. 2002.
African Swine Fever
Eradication: The Spanish
Model. Trends In
Emerging Viral Infections Of Swine, 133–139. Iowa State University Press.
Bech-Nielsen, S.,
Bonilla, Q. P., Sanchez-Vizcaino, J. 1993. Benefit-Cost Analysis Of The Current
African Swine Fever
Eradication Program In Spain
And Of An Accelerated Program. Preventive Veterinary Medicine, 17, 235- 249.
Bulu, P. M.,
Robertson, I., Geong, M. 2015. Impacts Of Pig Management And Husbandry Farmers Towards
Classical Swine Fever Transmission In West
Timor Indonesia (Dampak Manajemen Dan Cara Beternak Babi Terhadap Penularan Penyakit
Cholera Babi Di Timor Barat).
Jurnal Veteriner, 16, 38-
47.
Christie, B. M.,
Christie, B. M. 2007. A Review Of Animal Health Research Opportunities In Nusa Tenggara Timur And Nusa Tenggara Barat Provinces,
Eastern Indonesia, Australian Centre for International Agricultural Research.
De Carvalho
Ferreira, H., Weesendorp, E., Elbers, A., Bouma, A., Quak,
S., Stegeman, J., Loeffen, W. 2012. African Swine Fever Virus Excretion
Patterns In Persistently Infected Animals: A Quantitative Approach. Veterinary
Microbiology, 160, 327-340.
Direktorat
Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan. 2018. Statistik Peternakan
Dan Kesehatan Hewan 2018 :
Populasi Ternak Tahun 2014-2018. [Online]. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Available: https://ditjenpkh.pertanian.go.id/userfiles/File/Buku_Statistik_2018_-_
Final_ebook.pdf?time=1543210844103 [Accessed 16 Maret 2020].
Edwards, S.,
Fukusho, A., Lefevre, P. C.,
Lipowski, A., Pejsak, Z., Roehe, P.,
Westergaard, J. 2000. Classical Swine Fever: The Global Situation. Vet
Microbiol, 73, 103-19.
FAO. 2002. Animal
Disease Emergencies: Their Nature and Potential Consequences. http://www.fao.org/docrep/004/x2096e/X2096E01.htm (accessed March4th, 2020). [Online]. [Accessed].
Gallardo, C., Soler, A., Nieto, R., Cano, C., Pelayo, V., Sánchez, M., Pridotkas,
G.,
Fernandez-Pinero, J., Briones, V., Arias, M. 2017. Experimental Infection
Of Domestic Pigs With African
Swine Fever Virus Lithuania 2014 Genotype
Ii Field Isolate. Transboundary and emerging diseases, 64, 300-304.
Guinat, C., Gogin,
A., Blome, S., Keil, G., Pollin, R., Pfeiffer, D. U., Dixon,
L. 2016. Transmission Routes Of
African Swine Fever Virus To Domestic Pigs: Current Knowledge And Future Research Directions. The
Veterinary Record, 178, 262.
Hutabarat, T. & Santhia, K. 1999.
The Distribution And Control
Strategies Of Classical Swine Fever In Indonesia. Classical Swine Fever and
Emerging Diseases in Southeast Asia, ACIAR Proceedings,
94.
Johns, C.,
Cargill, C., Patrick, I., Geong, M., Ly, J., Shearer, D. 2009. Smallholder
Commercial Pig Production In Ntt - Opportunities For Better Market Integration.
SADI Final Report,
1-15.
Kaden, V., Lange,
B. 2001. Oral Immunisation Against
Classical Swine Fever (CSF): Onset And
Duration Of Immunity. Vet Microbiol, 82, 301-310.
Klinkenberg, D.,
Everts-Van Der Wind, A., Graat, E. A. M., Jong, M. C. M. D. 2003. Quantification Of The Effect
Of Control Strategies On Classical Swine Fever Epidemics. Mathematical
Biosciences, 186, 145-173.
Kortekaas,
J., Ketelaar, J., Vloet, R. P., Loeffen, W. L. 2010. Protective Efficacy Of A Classical Swine Fever Virus C-Strain Deletion Mutant
And Ability To Differentiate Infected From Vaccinated Animals. Vet Microbiol.
Le Gall, F. 2009. Economic And Social Consequences Of Animal Diseases.
World Bank.
Moennig, V. 2000. Introduction To Classical Swine Fever: Virus, Disease And Control Policy. Vet
Microbiol, 73, 93-102.
Moennig, V., Greiser-Wilke,
I. 2008. Classical Swine Fever Virus. Encyclopedia of
Virology: 525-532.
OIE. 2018. African Swine
Fever: OIE - World Organisation for Animal Health.
Olesen, A. S.,
Lohse, L., Boklund, A., Halasa, T., Gallardo, C., Pejsak, Z., Belsham,
G. J., Rasmussen, T. B., Bøtner, A. 2017. Transmission Of African
Swine Fever Virus From Infected Pigs By Direct Contact And Aerosol
Routes. Veterinary Microbiology, 211, 92-102.
Paton, D. J., Greiser-Wilke, I. 2003. Classical Swine Fever - An Update.
Research In Veterinary Science, 75, 169-178.
Rendleman, C. M., Spinelli, F. J. 1999. The Costs And Benefits Of Animal Disease
Prevention: The Case Of African Swine Fever In The US. Environmental
Impact Assessment Review, 19, 405-426.
Saatkamp,
H., Berentsen, P., Horst, H. 2000. Economic Aspects Of The Control Of Classical Swine Fever Outbreaks In The European Union.
Veterinary Microbiology, 73, 221-237.
Santhia, K.,
Dibia, N., Purnatha, N., And Sutami,
N. 1998. Detection of Hog Cholera Virus Antigen by Complex Trapping Blocking
ELISA. (Bureau of Investigation of Animal
Diseases, Regional VI, Denpasar, Bali- Indonesia).
Suradhat, S.,
Damrongwatanapokin, S. & Thanawongnuwech, R. 2007. Factors Critical For
Successful Vaccination Against
Classical Swine Fever In Endemic Areas. Veterinary
Microbiology, 119, 1-9.
Van Oirschot,
J. T. 2003. Vaccinology Of Classical Swine Fever: From Lab To Field. Vet Microbiol, 96, 367-84.
Jurnal Perencanaan Pembangunan Bappelitbangda NTT