PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN TERNAK BABI DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

 

Opportunities And Chalanges Of Pig Production In East Nusa Teggara Province

 

Petrus Malo Bulu

Staf Pengajar Pada Program Studi Kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang

 

 

ABSTRAK

Ternak babi merupakan salah satu ternak yang memiliki nilai ekonomi dan social budaya pada masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dimana mereka memainkan peran penting dalam peningkatan taraf hidup dan ekonomi masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu babi berperan penting dalam acara-acara keagamaan, adat-istiadat dan kegiatan sosial lainnyadi masyarakat serta merupakan sumber protein penting untuk konsumsi lokal di NTT. Potensi dan peluang pengembangan ternak babi di NTT masih sangat besar melihat fakta bahwa konsumsi daging di NTT yang cukup tinggi dan babi merupakan ternak yang paling banyak diternakan di Provinsi NTT dimana 85% masyarakat NTT memelihara ternak babi. Disamping itu, menjamurnya rumah makan berbahan daging babi terutama Se’i (daging yang dimasak dengan cara pengasapan) menyebabkan permintaan daging babi di NTT khususnya Kota Kupang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Namun demikian pengembangan ternak babi menghadapi tantangan yang cukup besar selain karena cara pemeliharaannya yang sebagian masih tradisional, juga akibat penyakit hewan menular yang telah menyebabkan kematian pada hewan yang sangat tinggi di wilayah ini. Beberapa penyakit menular telah menyebabkan kematian ternak babi termasuk penyakit Classical Swine Fever (CSF) dan African Swine Fever (ASF) merupakan dua penyakit virus yang telah ada dan menyebar di wilayah Provinsi NTT. Penyakit CSF sendiri telah masuk ke NTT sejak tahun 1998, sedang ASF masuk ke NTT secara resmi pada tahun 2020. Pengembangan Ternak babi di NTT sangat tergantung pada manajemen kesehatan yang baik dan benar khususnya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular.

Kata Kunci: Tantangan dan Peluang, Pengembangan Ternak Babi, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

 

ABSTRACT

Pigs are one of the animals that have economic and socio-cultural values in the community in East Nusa Tenggara Province, where they play an important role in improving the standard of living and economic conditions in East Nusa Tenggara (NTT). In addition, pigs play an important role in religious events, customs and other social activities in the community and are an important source of protein for local consumption in NTT. The potential and opportunities for developing pigs in NTT are still very large due to the fact that meat consumption in NTT is quite high and pigs are the most type of animal being raised in NTT Province where 85% of people in NTT raise pigs. In addition, the rapid grow of pork-based restaurants, especially Se'i (smoked pork), has caused the demand for pork in NTT especially in Kupang City to be quite high in recent years. However, the production of pigs faces considerable challenges including traditional raising method and infectious diseases which have caused very high mortality in the region. Several infectious diseases have caused the death of pigs including Classical Swine Fever (CSF) and African Swine Fever (ASF) are two viral diseases that have spread in the NTT Province. CSF itself has entered NTT since 1998, while ASF officially entered NTT in 2020. The development of pig


production in NTT is very dependent on good health management, especially prevention, control and eradication of infectious animal diseases.

KeyWords: Opportunities and Challenges, Pig Production, East Nusa Tenggara

 

 

1.  Latar Belakang

Babi merupakan salah satu ternak monogastrik yang sangat popular di Indonesia terutama pada daerah-daerah yang mayoritas penduduknya memeluk agama bukan Islam termasuk Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara dan Bali. Ternak babi adalah jenis ternak yang paling penting bagi petani kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT). Babi secara tradisional memainkan peran penting dalam kegiatan agama dan sosial dan kegiatan masyarakat lainnya serta merupakan sumber protein penting untuk konsumsi lokal di NTT (Johns et al., 2009; Bulu et al., 2015). Disamping itu, secara finansial babi adalah sumber akumulasi kekayaan (bertindak sebagai bank) dan sebagai cadangan tunai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saat ini dan masa yang akan datang terutama pada saat ada kebutuhan mendadak (anggota keluarga dan kerabat sakit atau meninggal dunia) dan kebutuhan anak sekolah. Oleh karena itu, kehilangan babi akibat CSF atau ASF bisa secara langsung berkonsekuensi buruk bagi ekonomi untuk masing-masing petani peternak (Bulu et al., 2015).

 

2.  Peluang

2.1  Populasi Ternak Babi di Indonesia

Babi merupakan salah satu hewan ternak yang banyak dipelihara oleh masyarakat di Nusa Tenggara Timur dengan jumlah populasi 2.141.246 ekor di tahun 2018 (BPS NTT, 2020-https://ntt.bps.go.id/linkTableDinamis/view/ id/191,diakses 1 Maret 2020). Populasi ini merupakan populasi ternak babi terbesar pertama di Indonesia (25%) dari total populasi nasional, diikuti Sumatera Utara pada urutan kedua sebesar 1,228,951 pada tahun 2018 (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2018). Hal ini bisa dipahami karena berdasarkan kepemilikan, sebanyak 85% keluarga di NTT memiliki ternak babi, sedangkan hanya 10% yang memelihara ternak sapi dan 5% memilihara ternak lainnya (Johns et al., 2009). Disamping itu, produksi daging terbesar disumbangkan oleh ternak babi dibandingkan hewan lain di NTT, seperti yang dijelaskan oleh Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT yang dikutip Antara News (27 Agustus 2018) bahwa rata-rata produksi daging babi setiap bulan mencapai 2.788.723 kg dengan konsumsi daging babi di NTT terbanyak yakni 50 persen, disusul unggas 25 persen, daging sapi 18 persen, kambing dua persen, kerbau dua persen dan kuda serta domba masing-masing satu persen. Badan Pusat Statistik NTT mencatat produksi daging babi untuk seluruh Kabupaten di NTT sebesar 34.414.053 kg pada tahun 2018 (BPS NTT, 2019). Produksi daging babi NTT memberikan sumbangan sebesar 17% produksi daging babi nasional yakni 38.290,69 ton pada tahun 2019 (BPS, 2020-Sumber data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan). Produksi daging babi tersebut mengikuti peningkatan konsumsi dan kebutuhan daging babi di NTT yang terus terus meningkat. Sebagai contoh, Kebutuhan daging se'i (daging babi yang diproses dengan cara pengasapan) di Kota Kupang bisa mencapai 2,5 ton per hari


atau setara dengan 500 ekor babi per hari(Beritasatu.com, Edisi 19 Maret 2019). Dengan demikian, ternak babi merupakan salah satu komoditas peternakan yang berpotensi dikembangkan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan protein hewani di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

 

3.  Tantangan dan Permasalahan

Tantangan terbesar bisnis ternak babi di NTT mencakup breeding stock dimana masih jarang atau belum ada breeding stock yang bisa mensuplai bibit atau bakalan unggul. Disamping itu, harga pakan yang mahal masih menjadi beban tersendiri bagi peternak karena harus membeli pakan yang diimpor dari luar NTT sehingga harga pakan yang dibeli peternak di NTT cukup mahal. Selain itu, pemotongan babi di NTT belum terorganisasi atau bahkan dilakukan sebagian besar di belakang rumah penduduk karena belum tersedia rumah potong hewan (RPH) atau belum difungsikannya RPH secara baik. Sementara itu, cara pemeliharaan babi dan penyakit hewan menular menjadi faktor penentu lainnya bagi keberhasilan peternakan dan bisnis babi di NTT. Kedua hal ini yang menjadi fokus diskusi pada tulisan ini.

 

3.1  Cara Pemeliharaan Ternak Babi di NTT

Namun demikian, walaupun populasi ternak babi merupakan yang tertinggi secara nasional, produksi ternak babi di NTT dinilai sangat rendah dan belum berdampak secara signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga di NTT dimana produktivitas ternak babi di NTT berkisar antara 0.1-0,3 kilogram (kg) per hari yang semestinya mencapai 1 kg per hari untuk pertumbuhan setiap ekor babi unggul seperti dijelaskan Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT (Berita Satu.com, 21 Agustus 2018). Hal ini disebabkan karena cara pemeliharaan babi di NTT sebagian besar (99%) masih tradisional (Bulu et al., 2015). Ada dua jenis skala pemeliharaan ternak babi di NTT yaitu ternak babi komersial dan ternak babi skala rumah tangga. Ternak babi komersial hanya ada dalam jumlah terbatas dengan jumlah babi yang terlibat tetapi juga dengan menggunakan pakan komersial, sistem pemberian air minum otomatis, dan kandang yang bisa dibersihkan. Sebagian besar peternakan ini juga memiliki catatan pada masing- masing hewan dan menggunakan teknik inseminasi buatan(Johns et al., 2009).

 

3.2  Penyakit Hewan Menular

Tantangan terbesar pengembangan ternak babi di NTT adalah penyakit hewan menular. Ada banyak penyakit yang bisa menyerang ternak babi baik karena parasit, jamur, bakteri maupun virus. Namun pada tulisan ini penulis hanya membahas 2 penyakit penting yang sangat berdampak secara ekonomi pada peternak yakni Classsica Swine Fever dan African Swine Fever. Kedua penyakit ini memiliki daya perusak yang sangat tinggi pada ternak babi dan tentu saja merusak ekonomi peternak babi itu sendiri. Selain itu, kedua penyakit ini menyebabkan penurunan populasi ternak babi yang sangat drastis karena tingkat fatalitasnya (fatality rate) yang sangat tinggi yaitu 90-100%(Gallardo et al., 2017).


3.2.1  Classical Swine Fever (CSF)

3.2.1.1  Penyebab dan Penyebaran

Classical Swine Fever (CSF) atau yang dikenal juga dengan Hog Cholera babi merupakan suatu penyakit virus yang sangat menular dan berdampak serius baik pada ternak babi maupun babi liar. Cholera babi disebabkan oleh virus RNA beruntai tunggal dari genus pestivirus (Paton and Greiser-Wilke, 2003; Moennig and Greiser-Wilke, 2008). Wabah CSF dilaporkan di Dili, Timor Timur pada Agustus 1997 (ketika itu masih bagian dari Indonesia) dan kemudian menyebar ke Kabupaten Kupang pada bulan Maret 1998 (Satya et al. 2009) dan selanjutnya penyakit tersebut telah dilaporkan di semua kabupaten di Pulau Timor (Santhia et al., 1998). Pada tahun 2013, penyakit tersebut telah masuk ke Pulau Lembata melalui import babi hidup dari Kupang, dimana penulis turun langsung ke wilayah itu untuk pemeriksaan serologi dan patologi. Saat ini penyakit tersebut telah menular di semua kabupaten di daratan Flores.

 

3.2.1.2  Dampak EkonomiCSF

Dampak ekonomi langsung terbesar CSF adalah melalui penurunan produksi. Morbiditas dan mortalitas secara langsung berdampak pada pendapatan petani dan juga dapat mempengaruhi pemasaran daging babi dan harganya (Rendleman and Spinelli, 1999). Dampak ekonomi penyakit tergantung pada strategi respons yang diadopsi oleh petani dan kemungkinan dampak pasar. Dampaknya dapat dikurangi jika sumber pendapatan petani didiversifikasi atau jika ada peluang lain untuk menghasilkan pendapatan (Le Gall, 2009). Penyakit CSF dapat mempengaruhi seluruh perekonomian nasional ketika wabah serius terjadi. Misalnya, wabah CSF di Belanda pada 1997-1998 menyebabkan kematian atau pembantaian sekitar 12 juta babi sebagai bagian dari kampanye pemberantasan penyakit tersebut. Biaya yang dikeluarkan karena wabah ini diperkirakan US $ 2,5-3 miliar, setengahnya adalah uang rakyat dan setengahnya dibagi rata antara petani dan pelaku bisnis lain dalam rantai produksi ternak (FAO, 2002). Dampak epidemi tersebut sangat parah sehingga Pemerintah Belanda menyetujui rencana restrukturisasi babi nasional yang menghasilkan pengurangan jumlah ternak babi nasional sekitar 25% dalam dua tahun (FAO, 2002).

Di Indonesia, diperkirakan 300.000 hingga 400.000 kematian babi dari total populasi sekitar satu juta babi dilaporkan untuk Bali sendiri ketika penyakit ini pertama kali masuk ke Bali pada Oktober 1995. Selain itu, populasi babi diperkirakan telah menurun sebesar 45% dan 23% masing-masing di Kabupaten Kupang dan Belu di Timor Barat (Christie dan Christie, 2007). Di kabupaten- kabupaten ini hingga 80% kematian dilaporkan dalam beberapa kelompok (Christie dan Christie, 2007; Hutabarat dan Santhia, 1999). Disamping itu, Penyakit ini dapat mengakibatkan larangan ekspor produk dan selanjutnya dapat berdampak pada harga pasar babi dan produknya (Bech-Nielsen et al., 1993). Dampak ekonomi dari strategi kontrol saat ini terutama terkait dengan langkah- langkah transportasi yang tersendak (45% dari semua biaya). Dari tiga strategi kontrol di daerah bebas (mendeteksi dan memberantas ternak yang terkena dampak; strategi yang tidak didasarkan pada vaksinasi; dan vaksinasi darurat), tidak mengadopsi vaksinasi memiliki potensi untuk meminimalkan biaya untuk


mengendalikan penyakit (Saatkamp et al., 2000).

 

3.2.1.3  Strategi Penanganan Penanganan penyakit Hog cholera

Demam Babi Klasik diklasifikasikan sebagai penyakit yang dapat dilaporkan di sebagian besar negara. Strategi untuk pencegahan, pengendalian dan/atau pemberantasan penyakit pada babi domestik berbeda antar negara dan dapat diringkas sebagai berikut (Edwards et al., 2000):

1.      Di negara-negara yang sebelumnya bebas dari CSF, kebijakan non- vaksinasi, dikombinasikan dengan pemberantasan total. Pengawasan serologis dilakukan pada populasi babi peliharaan. Sistem pengawasan dan jumlah sampel yang dikumpulkan tergantung pada prevalensi CSF, populasi babi hutan, dan situasi epidemiologis negara-negara tetangga.

2.      Di negara-negara di mana penyakit ini endemik, pengendalian umumnya didasarkan pada vaksinasi. Di beberapa negara, keputusan untuk menggunakan vaksinasi tergantung pada kepemilikan atau pada ukuran peternakan. Program vaksinasi dapat bervariasi seperti halnya jenis vaksin yang digunakan di berbagai negara. Di beberapa negara (misalnya Rusia), disarankan untuk memvaksinasi anak babi berusia 3 minggu, sedangkan di negara lain (misalnya Bulgaria dan Rumania) babi tidak divaksinasi sampai usia 10-12 minggu.

3.      Harus ada undang-undang yang melarang impor babi dari negara yang terinfeksi.

4.      Tindakan karantina dan pembatasan pergerakan babi harus dilakukan di negara-negara yang terinfeksi untuk mengendalikan penyebaran penyakit.

5.      Tindakan pencegahan lain termasuk pemusnahan kawanan ternak yang terinfeksi (ini masih dalam perdebatan di Indonesia karena ketidaksanggupan pemerintah mensubsidi peternak yang terdampak), dan penetapan perlindungan (sekitar 3 km radius) dan zona pengawasan (sekitar 10 km) di sekitar peternakan yang terinfeksi untuk mengendalikan penyebaran penyakit.

6.      Swill feeding (pemberian makanan sisa dapur dan restoran) perlu diatur. Sehubungan dengan sanitasi, OIE menyarankan strategi berikut:

1.      Komunikasi yang efektif antara otoritas veteriner, praktisi veteriner, dan peternak babi harus dilakukan.

2.      Sistem pelaporan penyakit harus efektif dan kebijakan untuk impor babi hidup, dan daging babi segar dan sembuh harus diterapkan dengan ketat.

3.      Babi harus dikarantina sebelum dimasukkan ke dalam kawanan.

4.      Makanan sisa atau sisa harus dilarang untuk diberikan kepada babi atau jika diberi makan itu harusdisterilkan dengan benar.

5.      Surveilans serologis terstruktur harus dilakukan yang ditargetkan pada pembibitan babi dan babi hutan.

6.      Sistem identifikasi dan pencatatan babi yang tepat harus diterapkan.

Di daerah di mana CSF endemik direkomendasikan vaksinasi dengan strain virus hidup yang dimodifikasi (Suradhat et al., 2007; van Oirschot, 2003). Sebaliknya di negara-negara yang bebas dari penyakit, atau di mana pemberantasan sedang berlangsung, vaksinasi biasanya dilarang (van Oirschot,


2003). Untuk memberantas CSF dari populasi babi, penularannya perlu dikurangi sedemikian rupa sehingga virus tidak dapat mempertahankan dirinya dalam populasi. Ini mungkin diperoleh dengan langkah-langkah kontrol termasuk menyembelih ternak yang terinfeksi, memusnahkan ternak yang berisiko, vaksinasi, meningkatkan tindakan kebersihan dan pembatasan pergerakan (Moennig, 2000).

Langkah-langkah pengendalian yang paling penting adalah pemusnahan ternak yang terinfeksi, larangan transportasi, pelacakan dan pengujian kontak infeksi, dan penerapan tindakan higienis dan pengawasan di daerah yang terkena dampak (Klinkenberg et al., 2003). Di daerah dengan tingkat endemisitas tinggi, vaksinasi rutin adalah cara yang paling umum digunakan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit (Suradhat et al., 2007). Vaksinasi mengatasi beberapa dilema etis yang timbul dari pemusnahan babi dalam skala besar selama wabah (Klinkenberg et al., 2003). Selain itu, CSF dapat dikendalikan secara efektif dengan vaksinasi dengan vaksin strain C hidup (Kortekaas et al., 2010), dan babi dapat dilindungi dari infeksi selama setidaknya 10 bulan setelah vaksinasi oral dengan vaksin virus hidup 'strain C' (Kaden and Lange, 2001). Sistem pengawasan yang efisien harus menjadi bagian integral dari strategi kontrol apa pun (Moennig, 2000).Vaksinasi oral babi hutan dapat berkontribusi untuk menurunkan insiden CSF, dan akibatnya mengurangi ancaman masuknya virus ke ternak domestik, namun penelitian tentang populasi babi hutan di Indonesia belum banyak dilakukan, dan ini berpengaruh pada efektifitas pengendalian yang dilakukan. Negara-negara bebas penyakit seharusnya tidak melakukan vaksinasi.

 

3.2.2  African Swine Fever (ASF)

3.223.2.2.1  Penyebab dan penyebaran

African Swine Fever (ASF) adalah penyakit pendarahan babi yang sangat menular, yang disebabkan oleh virus Swine Fever Afrika (ASFV), sebuah virus DNA beruntai ganda yang terbungkus dari Asfarviridae, genus Asfivirus (de Carvalho Ferreira et al., 2012).

Penyakit ASF bukan merupakan penyakit zoonosis (tidak dapat ditularkan dari hewan ke manusia), dengan demikian tidak mempunyai dampak kesehatan pada manusia. Penyakit tersebut hanya menginfeksi babi dan menjadi penyakit yang sangat penting secara ekonomi karena dapat menyebabkan kerugian yang sangat signifikan pada peternakan babi yang tertular atau terinfeksi.

Virus secara konsisten terdapat di tenggorokan babi yang tertular hingga 70 hari (de Carvalho Ferreira et al., 2012). Para peneliti ini melaporkan bahwa virus kadang-kadang terdapat di feses babi dengan titer yang sangat tinggi dan DNA virus juga bertahan dalam darah hingga 70 hari. Disamping itu, sebagian besar hewan yang terinfeksi secara terus-menerus melepaskan virus ke lingkungan selama setidaknya 70 hari, dan ini menjadi resiko yang harus dipertimbangkan dalam melihat kemungkinan risiko penularan penyakit tersebut. Sebagai tambahan informasi, bahwa penyakit tersebut dapat ditularkan salah satunya melalui kontak langsung dengan babi yang terinfeksi.

Penyakit Demam Afrika memiliki tanda klinis yang mirip dengan penyakit

Hog cholera (Classical Swine Fever-CSF) antara lain demam tinggi (40.5°C-


42°C), kematian mendadak pada babi yang terinfeksi, hilangnya nafsu makan secara tiba-tiba, muntah, perdarahan pada kulit dan organ dalam, diare berdarah, keguguran dan kematian pada anak baru lahir, mata merah, batuk berdarah, hidung berlendir, serta lemas dan gangguan keseimbangan alat gerak.

Di Indonesia, penyakit ASF telah dinyatakan positif di 3 Provinsi yaitu Sumatera Utara, Bali dan NTT. Di NTT, penyakit ini terkonfirmasi secara laboratorium positif melalui sampel yang diambil di Kabupaten Belu. Namun demikian, semua Kabupaten dan Kota di Daratan Timor telah melaporkan kematian babi dalam jumlah yang tidak wajar dari bulan November 2019.

Di NTT, penyakit Demam Babi Afrika telah dinyatakan secara resmi oleh pemerintah Provinsi NTT bahwa hasil pemeriksaan sampel dari Kabupaten Belu positif terhadap ASF. Sebelum hasil ini dirilis oleh pemerintah, penulis telah mendapatkan banyak informasi dari keluarga dan kerabat di Malaka dan Belu terkait kematian Babi dalam jumlah yang tidak wajar di kedua kabupaten tersebut mulai bulan November 2019. Penyakit ASF diduga masuk dari Negara tetangga Timor Leste yang telah lebih dahulu deklarasi positif pada bulan September 2019.

 

3.2.  3.2.2.2 Cara Penularan Penyakit ASF

Perlu diketahui bahwa Virus ASF dapat ditularkan dengan tiga siklus penularan utama yakni siklus sylvatic, siklus caplak babi, dan siklus domestik (Guinat et al., 2016). Siklus sylvatic mengacu pada sirkulasi antara populasi babi liar Afrika dan kutu lunak. Siklus ini dapat dilihat di negara-negara Afrika di mana ASF dan kutu atau caplak dari genus Ornithodoros bersifat endemik. Siklus kutu- babi terjadi di Afrika dan memainkan peran penting dalam penularan penyakit ini di Semenanjung Iberia, tempat kutu menginfeksi kandang dan kandang babi. Dalam siklus domestik, penularan langsung atau tidak langsung terjadi antar babi domestik atau babi yang dikandangkan. Hal yang sama berlaku untuk penularan di antara babi hutan untuk siklus sylvatic di Eropa Timur. Disamping itu, kontak langsung antara hewan yang terjangkit penyakit dan hewan rentan adalah rute penularan yang sangat efektif, tetapi hal ini masih tergantung pada keganasan virus (virulensi) (Olesen et al., 2017). Sedangkan penularan tidak langsung dapat terjadi melalui orang, kendaraan, dan, memberi makan produk daging yang terkontaminasi, benda yang terkontaminasi oleh zat yang mengandung virus seperti darah, feses, urin atau air liur dari babi yang terinfeksi, atau pakan untuk babi hutan atau babi piaraan juga diasumsikan memainkan peran yang cukup besar dalam penyebaran penyakit tersebut.

 

3.2  3.2.2.3 Dampak Ekonomi dan Sosial ASF

Akibat ASF ini, kerugian berdampak secara langsung dan tidak langsung dari hulu ke hilir dalam industri peternakan termasuk pembibitan, pakan, produksi daging olahan, dan lain-lain. Sebagaimana dilaporkan oleh FAO, penyakit ini telah menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di beberapa Negara di Kawasan Asia Tenggara (Thailand, Vietnam dan Phillipina) yakni lebih dari 5 juta ekor babi yang harus dimusnakan karena infeksi penyakit tersebut pada populasi ternak babi dengan kerugian ekonomi ditaksir Miliaran Dolar. Sebagai akibat wabah ASF di Polandia, Lithuania, Latvia dan Estonia pada tahun 2014


dan 2015 nilai ekspor daging babi dan produk daging babi berkurang hingga US $961 juta, mewakili hingga 50% dari ekspor. Dengan masuknya ASFV ke Denmark dapat mengakibatkan kerugian US $12 juta untuk biaya langsung dan US $349 juta untuk ekspor. Di Rusia, ASF diperkirakan menelan biaya US $267 juta pada tahun 2011. Lebih lanjut, penyebaran ASF ke Cina dapat memiliki konsekuensi yang lebih berbahaya, karena China memiliki populasi babi lebih dari setengah populasi babi dunia. Di Indonesia, belum ada penghitungan yang resmi jumlah kerugian akibat ASF, namun kerugian akibat ASF bisa mencapai triliunan rupiah karena bisnis tersebut merupakan bisnis yang sangat besar berdampak dari hulu ke hilir, mulai dari sarana prasarana produksi ternak (Sapronak) ternak babi sampai rumah-rumah makan dan restoran penyedia daging babi. Di NTT khususnya Timor Barat, jumlah kematian babi belum dihitung namun diperkirakan sekitar belasan ribu di awal Februari 2020 dengan total kerugian akibat kematian saja diperkirakan sebesar Rp 30,000,000,000,- (30 miliar).

Disamping itu dampak sosial dari ASF ini akan sangat besar di NTT karena ternak babi memiliki peran yang sangat besar dalam kegiatan-kegiatan adat-istiadat dan keagamaan serta kemungkinan hilangnya atau berkurangnya lapangan kerja dari industri ternak babi ini.

Dampak Ekonomi dan Sosial Penyakit ASF dapat diringkas sebagai berikut:

1.      Kerugian yang disebabkan oleh ASF termasuk kematian, yang bisa sangat tinggi, dan hilangnya pendapatan dari penurunan produksi daging dan hilangnya pasar ekspor.

2.      Wabah yang tidak terkendali akan mengakibatkan kerugian besar dan pengangguran di tingkat pertanian, pengelola produk daging babi dan ritel.

3.      Harga produk dari hewan lain mungkin naik sebagai akibat meningkatnya permintaan.

4.      Namun, jika pemberantasan dapat dilakukan dengan cepat dan efektif, mungkin tidak ada kerusakan abadi pada industri babi, asalkan industri tersebut dapat memulihkan pangsa pasarnya.

5.      Penyakit ini dapat menyebar dengan cepat ke seluruh industri babi dan populasi babi liar.

6.      Setelah wabah awal, penyakit ini bisa menjadi semakin meluas dan mahal; namun, kehilangan produksi pada babi yang terinfeksi akan berkurang ketika penyakit berpindah dari fase akut ke fase kronis (dengan episode akut yang berulang).

7.      Produsen yang babinya terhindar dari infeksi mungkin menaikan harga. Atau, mereka mungkin tidak mendapat manfaat dari wabah ini dari produsen lain;

8.      Konsumsi daging babi akan turun drastis selama wabah, meskipun ada jaminan bahwa daging itu aman untuk dikonsumsi manusia.

9.      Perkiraan kerugian di atas hanya baru mencakup nilai produk di hulu, dan belum termasuk kerugian di industri pemrosesan tambahan, pemasaran, dan transportasi.

10.   Perdagangan ekspor babi dan produk babi hampir pasti berhenti karena babi terinfeksi ASF.

11.   Hilangnya pasar ekspor akan mengakibatkan kelebihan pasokan domestik


yang besar, yang dengan cepat akan menyebabkan jatuhnya harga.

12.   Kehilangan pendapatan sangat besar yang berkepanjangan bagi produsen yang ternaknya dimusnahkan atau hancur dan dikenai kontrol karantina sebagai akibat dari berkurangnya peluang pasar dan perubahan praktik manajemen.

13.   Strategi pemusnahan menyebabkan penghancuran beberapa ternak yang penting secara genetis

14.   Efek sosial, selain yang terkait dengan ekonomi dan masyarakat adat, sangat besar.

 

3.2.2.4   Strategi Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit ASF

Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE, 2018) menyarankan beberapa langkah strategis pencegahan penyakit ASF antara lain:

1.      Pencegahan di negara-negara yang bebas dari penyakit tergantung pada penerapan kebijakan impor yang tepat dan langkah-langkah biosekuriti dengan memastikan bahwa tidak ada babi yang hidup maupun produk babi yang masuk ke dalam wilayah yang bebas ASF. Ini termasuk memastikan pembuangan limbah makanan yang benar dari pesawat terbang, kapal atau kendaraan yang berasal dari negara-negara yang terkena dampak dan mengawasi impor ilegal babi hidup dan produk babi dari negara- negara yang terkena dampak.

2.      Langkah-langkah sanitasi klasik dapat digunakan termasuk deteksi dini dan pemusnahan babi dengan cara yang manusiawi (dengan pembuangan karkas dan limbah yang tepat); pembersihan dan disinfeksi menyeluruh; zonasi/kompartementalisasi dan kontrol gerakan; pengawasan dan investigasi epidemiologis terperinci; langkah-langkah biosekuriti yang ketat di peternakan-peternakan babi.

3.      Seperti yang diamati di Eropa dan di beberapa wilayah Asia, penyebaran ASF sangat tergantung pada kepadatan populasi babi hutan dan interaksinya dengan sistem produksi babi dengan biosekuriti yang rendah. Pengetahuan dan manajemen populasi babi hutan yang baik dan koordinasi yang baik antara Dinas Peternakan/Pertanian, satwa liar dan otoritas kehutanan diperlukan untuk berhasil mencegah dan mengendalikan ASF.

4.      Bergantung pada situasi epidemiologis, keterlibatan vektor kutu lunak juga harus dipertimbangkan dalam program kontrol.

 

3.2. 3.2.2.5  Pengendalian dan Pemberantasan

Keberhasilan pemberantasan ASF di Spanyol telah dikaitkan dengan penyaringan dan penghapusan babi yang terinfeksi secara terus-menerus (Arias and Sanchez-Vizcaino, 2002). Australian Veterinary Emergency Plan (Animal Health Australia, 2016) menjelaskan dan menyarankan beberapa prinsip pengendalian dan pemberantasan ASF antara lain:

1.      Pengenalan awal dan konfirmasi laboratorium kasus yang dilaporkan.

2.      Studi epidemiologi untuk menetapkan peran potensial vektor dalam transmisiASF

3.      Kontrol pergerakan babi, produk babi dan barang-barang lain yang berpotensi terkontaminasi diwilayah yang dideklarasikan, untuk meminimalkan penyebaran infeksi. Dalam pelaksanaannya, terutama di NTT pemerintah belum memiliki panduan dan aturan yang tetap dan tepat terkait pelarangan keluar-masuk (ekspor-impor) ternak babi terutama terkait perdagangan ternak di babi di wilayah tertular, terancam dan bebas. Pada kasus ASF misalnya, pemerintah melarang semua bentuk pergerakan babi di semua wilayah NTT tanpa merinci pada daerah mana yang boleh dan mana yang dilarang terkait pelarangan terutama yang berkaitan dengan kegiatan jual beli ternak, dan hal ini berdampak pada kegiatan ekonomi peternak babi. Pada Tabel 1 penulis sajikan sebuah panduan/rekomendasi pengendalian pergerakan ternak babi hidup pada wilayah tertular, terancam dan bebas.





Tabel 1. Rekomendasi Pengendalian Pergerakan Babi Hidup.

4.      Penelusuran dan pengawasan (berdasarkan penilaian epidemiologis) untuk menentukan sumbernya dan tingkat infeksi (termasuk, bila perlu, pada babi liar), dan selanjutnya untuk menyediakan bukti kebebasan dari penyakit.

5.      Pemusnahan semua babi di tempat yang terinfeksi bila dimungkinkan (di Indonesia dan NTT khususnya hal ini masih terkendala sampai saat ini)

6.      Pembuangan babi yang dimusnahkan dan dekontaminasi kandang atau peternakan.

7.      Pemusnahan dan pembuangan produk-produk babi yang kemungkinan terkontaminasi, untuk mengurangi sumber infeksi.

8.      Dekontaminasi fomites (fasilitas, peralatan dan barang-barang lainnya) untuk menghilangkan pathogen dengan mengikuti standar prosedur yang benar.

9.      Disinsektisasi (pemusnahan kutu) di kandang atau peternakan untuk menghilangkan vektor arthropoda yang potensial dengan mengikuti prosedur standar yang baik dan benar.

10.   Mengintensifkan strategi kontrol untuk babi liar untuk menghilangkan reservoir potensial pada daerah terbatas.

11.   Lakukan Zonasi/kompartementalisasi untuk mendefinisikan wilayah dan

bangunan yang terinfeksi dan bebas penyakit

12.   Butuh dukungan industri untuk meningkatkan pemahaman tentang masalah, memfasilitasi kerja sama danmengatasi masalah kesejahteraan hewan

13.   Kampanye kesadaran publik.

 

4.  Kesimpulan

Ternak babi merupakan salah satu ternak yang memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat NTT, dimana babi berperan penting selain sebagai sumber pendapatan keluarga juga sebagai komoditas yang sangat penting dalam kegiatan-kegiatan adat-istiadat dan keagamaan.

Populasi ternak babi merupakan yang terbesar di Indonesia, namun pada saat yang sama belum secara signifikan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat khususnya petani karena berbagai faktor termasuk cara pemeliharaannya yang masih tradisional sehingga produktifitasnya rendah juga karena serangan penyakit hewan menular.

Strategi pengembangan ternak babi di NTT harus diperbaiki untuk 2 hal pokok yaitu manajemen pemeliharaan dan manajemen kesehatan (vaksinasi, biosekuritas, pengendalian pergerakan babi pada saat wabah penyakit hewan menular dengan regulasi yang ketat dan tegas, sanitasi dan desinfeksi kandang yang teratur oleh petani).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Animal Health Australia. 2016. Disease strategy: African swine fever (Version 4.1). Australian Veterinary Emergency Plan (AUSVETPLAN), Edition 4, National Biosecurity Committee, Canberra, ACT.

Arias, M., Sanchez-Vizcaino, J. M. 2002. African Swine Fever Eradication: The Spanish Model. Trends In Emerging Viral Infections Of Swine, 133–139. Iowa State University Press.

Bech-Nielsen, S., Bonilla, Q. P., Sanchez-Vizcaino, J. 1993. Benefit-Cost Analysis Of The Current African Swine Fever Eradication Program In Spain And Of An Accelerated Program. Preventive Veterinary Medicine, 17, 235- 249.

Bulu, P. M., Robertson, I., Geong, M. 2015. Impacts Of Pig Management And Husbandry Farmers Towards Classical Swine Fever Transmission In West Timor Indonesia (Dampak Manajemen Dan Cara Beternak Babi Terhadap Penularan Penyakit Cholera Babi Di Timor Barat). Jurnal Veteriner, 16, 38- 47.


Christie, B. M., Christie, B. M. 2007. A Review Of Animal Health Research Opportunities In Nusa Tenggara Timur And Nusa Tenggara Barat Provinces, Eastern Indonesia, Australian Centre for International Agricultural Research.

De Carvalho Ferreira, H., Weesendorp, E., Elbers, A., Bouma, A., Quak, S., Stegeman, J., Loeffen, W. 2012. African Swine Fever Virus Excretion Patterns In Persistently Infected Animals: A Quantitative Approach. Veterinary Microbiology, 160, 327-340.

Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan. 2018. Statistik Peternakan Dan Kesehatan Hewan 2018 : Populasi Ternak Tahun 2014-2018. [Online]. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Available: https://ditjenpkh.pertanian.go.id/userfiles/File/Buku_Statistik_2018_-_ Final_ebook.pdf?time=1543210844103 [Accessed 16 Maret 2020].

Edwards, S., Fukusho, A., Lefevre, P. C., Lipowski, A., Pejsak, Z., Roehe, P., Westergaard, J. 2000. Classical Swine Fever: The Global Situation. Vet Microbiol, 73, 103-19.

FAO. 2002. Animal Disease Emergencies: Their Nature and Potential Consequences. http://www.fao.org/docrep/004/x2096e/X2096E01.htm (accessed March4th, 2020). [Online]. [Accessed].

Gallardo, C., Soler, A., Nieto, R., Cano, C., Pelayo, V., Sánchez, M., Pridotkas, G., Fernandez-Pinero, J., Briones, V., Arias, M. 2017. Experimental Infection Of Domestic Pigs With African Swine Fever Virus Lithuania 2014 Genotype Ii Field Isolate. Transboundary and emerging diseases, 64, 300-304.

Guinat, C., Gogin, A., Blome, S., Keil, G., Pollin, R., Pfeiffer, D. U., Dixon,

L. 2016. Transmission Routes Of African Swine Fever Virus To Domestic Pigs: Current Knowledge And Future Research Directions. The Veterinary Record, 178, 262.

Hutabarat, T. & Santhia, K. 1999. The Distribution And Control Strategies Of Classical Swine Fever In Indonesia. Classical Swine Fever and Emerging Diseases in Southeast Asia, ACIAR Proceedings, 94.

Johns, C., Cargill, C., Patrick, I., Geong, M., Ly, J., Shearer, D. 2009. Smallholder Commercial Pig Production In Ntt - Opportunities For Better Market Integration. SADI Final Report, 1-15.

Kaden, V., Lange, B. 2001. Oral Immunisation Against Classical Swine Fever (CSF): Onset And Duration Of Immunity. Vet Microbiol, 82, 301-310.

Klinkenberg, D., Everts-Van Der Wind, A., Graat, E. A. M., Jong, M. C. M. D. 2003. Quantification Of The Effect Of Control Strategies On Classical Swine Fever Epidemics. Mathematical Biosciences, 186, 145-173.

Kortekaas, J., Ketelaar, J., Vloet, R. P., Loeffen, W. L. 2010. Protective Efficacy Of A Classical Swine Fever Virus C-Strain Deletion Mutant And Ability To Differentiate Infected From Vaccinated Animals. Vet Microbiol.


Le Gall, F. 2009. Economic And Social Consequences Of Animal Diseases.

World Bank.

Moennig, V. 2000. Introduction To Classical Swine Fever: Virus, Disease And Control Policy. Vet Microbiol, 73, 93-102.

Moennig, V., Greiser-Wilke, I. 2008. Classical Swine Fever Virus. Encyclopedia of Virology: 525-532.

OIE. 2018. African Swine Fever: OIE - World Organisation for Animal Health.

Olesen, A. S., Lohse, L., Boklund, A., Halasa, T., Gallardo, C., Pejsak, Z., Belsham, G. J., Rasmussen, T. B., Bøtner, A. 2017. Transmission Of African Swine Fever Virus From Infected Pigs By Direct Contact And Aerosol Routes. Veterinary Microbiology, 211, 92-102.

Paton, D. J., Greiser-Wilke, I. 2003. Classical Swine Fever - An Update.

Research In Veterinary Science, 75, 169-178.

Rendleman, C. M., Spinelli, F. J. 1999. The Costs And Benefits Of Animal Disease Prevention: The Case Of African Swine Fever In The US. Environmental Impact Assessment Review, 19, 405-426.

Saatkamp, H., Berentsen, P., Horst, H. 2000. Economic Aspects Of The Control Of Classical Swine Fever Outbreaks In The European Union. Veterinary Microbiology, 73, 221-237.

Santhia, K., Dibia, N., Purnatha, N., And Sutami, N. 1998. Detection of Hog Cholera Virus Antigen by Complex Trapping Blocking ELISA. (Bureau of Investigation of Animal Diseases, Regional VI, Denpasar, Bali- Indonesia).

Suradhat, S., Damrongwatanapokin, S. & Thanawongnuwech, R. 2007. Factors Critical For Successful Vaccination Against Classical Swine Fever In Endemic Areas. Veterinary Microbiology, 119, 1-9.

Van Oirschot, J. T. 2003. Vaccinology Of Classical Swine Fever: From Lab To Field. Vet Microbiol, 96, 367-84.




Jurnal Perencanaan Pembangunan Bappelitbangda NTT


Link to Jurnal Paper pdf version

Share this