Petrus Malo Bulu, Yanse Y. Rumlaklak, Erda E. R. Hau, dan Jois M. Jacob
Program Studi Kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jl. Adi Sucipto Penfui, P. O. Box.
1152, Kupang 85011
Email:
pmalobulu@yahoo.com
ABSTRACT
Level of Biosecurity Application on Big Scale Piggery in
Noelbaki village, Central Kupang sub distiric, Kupang distric. Classical Swine fever is one of
swine diseases that often occurs in East Nusa Tenggara and is recognised as an
endemic disease in Timor Island. This disease is also known as Hog cholera
since it gained entry in the island
of Timor in 1997 and has
caused economic losses, which is believed as a result of low level of
biosecurity application on farms. This research was aimed to identify level of
application of biosecurity on farm level. Purposive sampling was our sampling
method used, where all commercial pig farms in Noelbaki village involved in the survey.
The research results
showed that there were some variables of biosecurity
applied in low level courses such as closed to small scale pig farms, use of
wheel bath for trucks at the entrance of the farm and desinfection of trucks. Some biosecurity parameters had low scores,
thus, it affected the low
level of biosecurity.
Keywords: Biosecurity, Piggery
PENDAHULUAN
Penelitian
ini dimaksudkan untuk menginvestigasi praktek-praktek biosecurity yang diterapkan pada peternakan-peternakan babi skala besar di Desa Noelbaki, Kupang Tengah, Kabupaten
Kupang. Sejumlah petani (peternak
babi) telah diwawancarai guna memperoleh informasi tentang kelompok (herds)
dan manajemen kesehatan babi. Informasi yang diperoleh dari survey ini
akan membantu dalam pemahaman
akan penyakit CSF dan penyediaan informasi yang berguna bagi Pemerintah NTT dan Industri
dalam membuat keputusan tentang pengendalian penyakit CSF di Provinsi
NTT. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui: resiko-resiko biosecurity yang dirasakan peternak, praktek-
praktek biosecurity on farm yang sedang dijalankan peternak.
Penelitian
ini merupakan penelitian dasar dan belum pernah ada penelitian sejenis pada
peternakan babi komersial, hal ini menyebabkan kurangnya pemahaman akan
penerapan biosecurity pada peternakan komersial. Disamping itu, saat ini muncul
penyakit-penyakit menular baru yang salah satu cara pencegahannya adalah dengan penerapan biosecurity. Oleh karena
itu
penelitian ini menjadi
sangat penting dilakukan untuk memahami level penerapan biosecurity pada peternakan komersial karena peternakan tersebut
menjadi tempat pertemuan berbagai penyakit dari berbagai sumber. Hasil
penelitian ini akan membantu dalam mengevaluasi level biosecurity yang sedang dilakukan pada peternakan skala besar dan
untuk menguji sumber-sumber apa yang peternak butuhkan untuk meningkatkan
tingkat proteksi terhadap peternakan mereka sendiri. Asumsi dari penelitian ini
adalah penyakit Hog cholera sering
terjadi di daerah ini karena belum diterapkan level biosecurity secara benar.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Tipe penelitian. Penelitian ini merupakan
targeted penelitian dimana penelitian ini difokuskan pada daerah dengan jumlah
peternakan komersial terbanyak.
Metode Pemilihan Sampel. Metode sampling yang
digunakan adalah purposive sampling dimana
semua peternakan babi skala besar yang ada di Desa Noelbaki dilibatkan dalam
penelitian dengan kriteria bahwa peternakan tersebut memiliki populasi ternak
babi 50 ekor atau lebih.
Distribusi Kuisioner. Kuisioner didistribusikan
pada saat melakukan wawancara tatap muka dengan peternak.
Analisa Data. Data disimpan dengan
menggunakan SPSS dan Minitab. Data selanjutnya dianalisis menggunakan Multiple correspondence analysis (Minitab
2000) untuk mendeskripsikan categorical
variable yang berbeda,
dan selanjutnya diikuti dengan
analisis Kelompok dua tahap (Two-step
cluster analysis dengan menggunakan SPSS 17) untuk mengungkapkan kebiasaan
manajemen dan biosecurity dari kelompok ternak atau peternakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Survey ini
dilakukan pada 15 peternakan babi besar yang ada di Desa Noelbaki, dari hasil
survey hanya 11 peternakan komersial yang masih aktif sedang 4 lainnya sudah
tidak beroperasi lagi. Dari 11 peternakan yang masih aktif tersebut rata-rata memiliki jumlah
populasi diatas 50 ekor. Melalui Two Step
Cluster analysis didapat 2 cluster peternakan tersebut sehubungan dengan
level biosecurity yang diterapkan (Tabel 1) yaitu Cluster 1 yang terdiri dari
10 peternak.
Tabel 1. Cluster
Pengamatan Level Biosecurity Peternakan di Desa Noelbaki
|
Number ofobservations |
Within clustersum of squares |
Average distance from centroid |
Maximum distance
from centroid |
Cluster1 |
10 |
55.800 |
2.293 |
3.259 |
Cluster2 |
1 |
0.000 |
0.000 |
0.000 |
Tabel 2.Jarak antara
Cluster Centroids |
|
|
||
|
Cluster1 |
Cluster2 |
||
Cluster1 |
0.0000 |
3.5805 |
||
Cluster2 |
3.5805 |
0.0000 |
Level
biosecurity pada cluster ini dapat digolongkan baik atau sedang dimana masih
terdapat sedikit titik kritis yang menjadi pintu masuk (point de entry) dari penyakit infeksi menular. Cluster 2 terdiri
dari 1 peternak, memiliki titik kritis yang lebih banyak dengan penerapan
biosecurity yang jelek yang memungkinkan masuknya penyakit infeksi menular
dengan sangat mudah. Disamping itu, Level biosecurity dari
peternakan-peternakan dianalysis dan disajikan pada (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil analysis two step cluster analysis level biosecurity dari
peternakan yang disurvey
Frekuensi Persentase
|
Komponen Biosecurity
Frekuensi Persentase
|
Komponen Biosecurity
![]() |
Pada
penelitian ini (Tabel 3), proporsi tertinggi dari biosecurity yang diterapkan
yang berpengaruh positif terhadap keamanan peternakan dari infeksi penyakit
menular yaitu peternakan/peternak melakukan pergantian breeder (induk betina)
secara berkala, menggunakan unit terpisah untuk setiap induk babi, ada pintu masuk terpisah untuk setiap induk bunting, menerapkan
karantina pada babi yang
baru dibeli atau baru datang, anak kandang tidak memelihara babi di rumahnya
masing-masing, memotong babi di rumah potong hewan (RPH), air minum untuk babi
berasal dari sumber yang aman dan kandang-kandang yang dibangun memiliki batas
yang jelas serta pengunjung yang datang dikontrol. Pada penelitian ini tiga
komponen teratas biosecurity yaitu pergantian breeder, kandang memiliki batas
yang jelas dan pengunjung dikontrol dimana ketiga komponen tersebut diatas
memiliki persentase 100% dengan frekuensi 11 peternakan/peternak menjawab ya.
Selanjutnya diikuti oleh
komponen lainnya pada urutan kedua yaitu menggunakan unit terpisah, anak kandang
tidak memelihara babi di rumah dan babi dipotong di RPH
dengan frekuensi 10 (90.9%) peternakan/peternak yang menerapkannya. Pada urutan
ketiga ditempati komponen lainnya yakni air minum berasal dari sumber yang aman dengan frekuensi 9 (81.8%) peternakan/peternak mengatakan bahwa
sumber air untuk ternaknya beradal dari sumber yang aman. Diikuti oleh komponen
lainnya pada urutan keempat yaitu menggunakan pintu masuk terpisah untuk setiap
induk bunting dan menerapkan karantina pada babi yang baru datang atau baru
dibeli dengan frekuensi 8 (72.7%) peternakan/peternak yang menjawab ya pada
komponen tersebut.
Pada sisi
lain, pada penelitian tersebut ditemukan adanya komponen biosecurity yang berpengaruh jelek atau negatif terhadap peternakan
itu diantaranya kandang peternakan yang dibangun dekat dengan peternakan skala
kecil, bibit berasal dari luar daerah, tidak adanya periode tanpa produksi pada
peternakan, mayat babi dibuang ke tempat sampah,
tidak adanya pekerja khusus bagi ternak betina bunting,
mobil yang masuk tidak didesinfeksi, tidak tersedianya tempat cuci atau
desinfeksi untuk ban mobil yang masuk di pintu masuk peternakan dan tidak
tersedianya tempat cuci kaki di dekat kandang ternak.
Pada
urutan pertama untuk komponen biosecurity yang berpengaruh negatif yaitu
kandang peternakan dekat dengan peternakan skala kecil dan tidak tersedia
tempat cuci ban mobil pada pintu masuk peternakan dengan frekuensi 11 (100%)
peternakan mengatakan ya pada komponen ini. Pada urutan kedua ditempati oleh
komponen tidak adanya pekerja khusus pada induk betina bunting dan mobil yang masuk
tidak didesinfeksi dengan
frekuensi 10 (90.9%)
peternakan/peternakan
mengatakan tidak memiliki/menyediakan pada komponen-komponen tersebut. Pada
urutan ketiga adalah tidak ada periode tanpa produksi dan mayat babi dibuang ke
tempat sampah dengan frekuensi 9 (81.8%). Pada urutan keempat ditempati oleh
asal bibit dari luar daerah dan tidak tersedia tempat cuci kaki dekat kandang
babi dengan frekuensi 8 (72.7%).
Dari hasil survey ditemukan semua peternakan/peternak mengatakan selalu
mengganti breeder secara berkala. Dengan pergantian breeder secara berkala akan memutus siklus suatu penyakit,
karena induk semang dari
penyakit sudah diputus dengan menjual atau mengeluarkan induk babi dari kandang
tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa penyakit hanya bisa bertahan bila berada
pada induk semang definitifnya. Kandang yang memiliki batas yang jelas akan
melindungi peternakan itu sendiri. Sebaliknya kandang yang tidak memiliki batas
yang jelas dapat merupakan sumber hazard bagi peternakan tersebut (Pinto and
Urcelay 2003). Disamping itu, orang yang berkunjung ke kandang atau peternakan
dengan berbagai tujuan dapat menjadi sumber penularan infeksi dari luar
peternakan. Oleh karena itu, kontrol terhadap pengunjung menjadi komponen yang
sangat penting dalam mencegah masuk dan
menyebarnya penyakit ke dalam peternakan itu. Untuk mencegah hal ini Pinto dan
Urcelay (2003) menekankan pentingnya pengunjung terlebih dahulu mandi sebelum
masuk ke kandang.
Selanjutnya, penggunaan unit terpisah
untuk setiap induk sangat penting untuk menjamin tidak mudah menularnya
penyakit dalam kelompok ternak. Pada penelitian ini rata-rata peternak telah
menggunakan unit terpisah
untuk induk babinya.
Selama wabah CSF di
Belanda pada tahun 1997/1998 ditemukan 2 faktor penting yang terkait dengan
masuknya CSF ke kelompok ternak babi yaitu keluar-masuknya orang ke peternakan
babi tanpa menggunakan pakaian pelindung dan pengendara truk- truk pengangkut
babi menggunakan sepatu boot mereka sendiri (Elbers
et al., 2001).
Disamping itu, pemotongan ternak babi di RPH sangat penting selain untuk menjamin
babi yang dipotong
sehat dan daging yang dikonsumsi benar- benar sehat juga pemotongan babi di RPH memiliki tujuan
lain yaitu untuk mencegah tidak tertularnya penyakit
infeksi menular di dalam peternakan atau ke peternakan lain bila babi yang dipotong tersebut merupakan babi
berpenyakit. Sumber lain
penyakit infeksi adalah air minum ternak itu. Bila air minum ternak berasal
dari sumber yang tidak sehat maka air minum tersebut berpotensi menjadi sumber
penularan penyakit infeksi yang potensial bagi peternakan tersebut. Air dapat
menjadi sumber potensial virus Classical Swine Fever (CSFV) karena virus
tersebut bisa bertahan hidup dalam air pada suhu 20oC selama 6 sampai 24 hari
(Pagnini et al. 1984). Penerapan
karantina pada babi yang baru datang sangat penting untuk menghindari masuknya
penyakit dari luar dan tersebar dalam kelompok ternak yang sudah ada. Pada
survey ini, sebagian besar peternak menerapkan karantina pada babi yang baru
datang (72.7%). Komponen ini lebih tinggi daripada yang didapat oleh Pinto dan Urceley (2003) sebesar 56 %.
Komponen biosecurity yang ditemukan dapat menjadi ancaman sekaligus
merugikan peternakan yang disurvey antara lain kandang peternakan yang dibangun
dekat dengan peternakan skala kecil. Sebagaimana diketahui bahwa peternakan
skala kecil seringkali diperlihara dengan cara dilepas sehingga dengan demikian
babi-babi tersebut dengan leluasa bergerak dari satu tempat/peternakan ke
tempat/peternakan lain yang pada gilirannya dapat menjadi sumber infeksi bagi
peternakan komersial. Disamping itu, perlakuan yang tidak tepat pada mayat babi
dapat berpotensi terhadap penularan penyakit infeksi dari satu peternakan ke
peternakan lainnya. Perlakuan yang buruk terhadap mayat babi termasuk
membuangnya ke tempat sampah dapat mempengaruhi kesehatan kelompok ternak dan
membuat kelompok ternak tersebut sangat mudah rentan akan masuknya penyakit
lain termasuk penyakit CSF (Schembri et
al., 2010). Komponen lain yang semua peternakan belum terapkan adalah
penyediaan tempat cuci ban mobil pada pintu masuk peternakan dan penyemprotan dengan desinfektan terhadap mobil
yang masuk ke peternakan. Sebagaimana sudah diketahui secara umum bahwa
kendaraan merupakan salah satu media penularan
penyakit infeksi termasuk
CSF dari suatu peternakan ke
peternakan lainnya. Transportasi anak babi yang berasal dari peternakan yang
berbeda dan didistribusi ke peternakan penggemukan memiliki resiko yang tinggi
terhadap penyebaran penyakit, karena transportasi semacam ini seringkali menempuh
jarak yang jauh dan mungkin menghasilkan kontak yang tidak dapat ditelusuri
(Terpstra 1991).
Pada peternakan babi, biosecurity didefinisikan
sebagai upaya perlindungan terhadap kelompok ternak babi terhadap masuk dan
menyebarnya agen penyakit ke dalam peternakan tersebut termasuk penyakit virus,
bakteri, jamur dan parasit (Armass dan
Clark, 1999; Barcelo dan Marco 1998), sedangkan WHO (2008) mendefinisikan biosecurity
sebagai penerapan berbagai tindakan untuk menurunkan resiko yang disebabkan
oleh karena buruknya manajemen, tanggungjawab dan perlindungan. Khususnya pada
daerah dengan populasi padat ternak
babi, biosecurity yang tepat harus
diterapkan didukung dengan manajemen yang cukup untuk mencegah masuk dan
menyebarnya infeksi baik yang bersifat endemik maupun epidemik (Barcelo ́ and Marco, 1998; Armass
and Clark, 1999). Olehkarena itu, sebagaimana pentingnya biosecurity maka
sebuah protokol biosecurity yang ketat harus dibangun guna melindungi kelompok
ternak babi dari penyakit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Peternakan babi dengan tingkat penerapan biosecurity yang rendah secara
teoritis memiliki potensi yang lebih tinggi terhadap masuk dan menularnya
penyakit, sedangkan peternakan dengan tingkat penerapan yang lebih baik
memiliki potensi yang lebih rendah.
Temuan ini menyarankan peternak atau peternakan untuk meningkatkan
penerapan biosecurity untuk meminimalisasi kesempatan masuknya infeksi penyakit
menular.
Biosecurity yang baik dan praktek
manajemen yang benar bertujuan menurunkan resiko sekaligus menangkal masuknya
penyakit infeksius menular ke dalam suatu peternakan.
DAFTAR PUSTAKA
Armass, S.F., Clark, L.K.,
1999. Biosecurity considerations for pork
production units. Swine Health Prod. 7 (5), 217–228.
Barcelo,
M., Marco, E., 1998.On Farm Biosecurity,
International Pig Veterinary Society Proceedings.1998.
Elbers, A.R.W.,
Stegeman, J.A., and De Jong, M.C.M. 2001.Factors Associated with The Introduction of Classical Swine Fever Virus Into Pig Herds in
The Central Area of the 1997/98 Epidemic
in the Netherlands. The Veterinary Record 149 (13): 377.
Pagnini, P., G. Rossi, B.
de Tomassis, R. di Matteo, and F. Martone.1984. Ricerche Sulla Resistenza Del Virus Della Diarrea Virale
Del Bovino Agli
Agenti Fisici E Nelle Acque. In:Edwards, S.2000. Survival and
Inactivation of Classical Swine Fever Virus.Veterinary Microbiology 73 (2-3):175-181.
Schembri, N., Holyoake, P.
K., Hernandez-Jover, M., and Toribio, J.-A. L. M. L. 2010. A Qualitative Study of the Management and Biosecurity Practices of 13 Interviewed
Pig Owners Selling Via Informal Means in New South Wales, Australia. Animal
Production Science 50: 852–862.
Terpstra, C. 1991. Hog
cholera: An update of present knowledge.British Veterinary Journal 147 (5):397-406
WHO.2008.
Biosafety and biosecurity in Health
Laboratories.Report of a Regional Workshop. Pune. India, 8-11 July 2008.
BCT-Report-SEA-HLM-398.pdf (Diakses, 20 Juni 2012).